News  

Bunuh Diri Karena Pinjol-Judol Tahun 2024 Capai 26 Orang, Pemerintah Harus Perbaiki Cara Penanganan

Founder Center for Financial and Digital Literacy (CFDL) Rahman Mangussara menyoroti mengerikannya kasus bunuh diri karena pinjaman online (pinjol) ilegal dan judi online (judol) sepanjang tahun 2024 ini yang mencapai 26 orang.

Dalam pernyataan pers akhir tahun di Jakarta, Senin (30/12/2024), salah satunya Rahman menyoroti kematian tiga orang dalam satu keluarga di Ciputat, Tangsel, Banten, yaitu ayah, ibu dan anak balita, pada pertengahan Desember 2024 yang meninggalkan duka mendalam dan mengirim pesan kuat kepada pemerintah dan masyarakat bahwa masalah pinjol ilegal tidak bisa diremehkan akibatnya jika sudah terjerat dalam.

Kasus bunuh diri satu keluarga ini diduga karena terjerat utang pinjol bukan yang pertama. Sebelumnya, setidaknya ada tiga kasus keluarga bunuh diri dengan lima di antaranya adalah balita, dalam kurun empat tahun ke belakang.

‘’Kematian satu keluarga dengan balitanya itu benar-benar menyayat hati, sekaligus membuat geram. Betapa tidak berdayanya kita mengatasi masalah pinjol ilegal ini hingga anak balita yang tidak mengerti apa-apa, tidak berdosa menjadi korban,’’ ujar Rahman.

‘’Selalu diumumkan ribuan pinjol ilegal ditutup, tapi, irosinisnya, pinjol ilegal selalu muncul dalam jumlah yang lebih banyak. Jadi, masalahnya di mana? Di sisi lain kasus yang terjerat utang pinjol juga tetap ada,” sambung dia.

Rahman menyebutkan hingga 30 Desember ini, jumlah kasus bunuh diri karena pinjol mencapai 11 orang. Jika ditotal sejak tahun 2020 hingga 2024, jumlah orang yang bunuh diri karena terlilit utang pinjol sebanyak 61 orang, Dari jumlah sebanyak itu, tujuh di antaranya adalah balita.

Menurutnya, kasus mengakhiri hidup karena pinjol ini belum termasuk membunuh orang lain, menjual anak, merampok, dan korupsi yang jumlahnya juga banyak. Rahman menegaskan, angka-angka ini berbicara lantang kepada semua pihak bahwa ada yang mendesak diperbaiki dari cara pemerintah menangani pinjol dan literasi masyarakat.

‘’Mengubah nama dari pinjol menjadi pindar, boleh-boleh saja, tapi itu tidak lebih dari hanya casing semata. Kurang memadai dan bahkan mungkin tidak berdampak apa-apa pada pemberantasan pinjol ilegal dan peningkatan literasi keuangan dan digital,’’ tegas Rahman.

‘’Semua intitusi yang terkait harus bekerja sama, tidak sendiri-sendiri. Fokuslah ke pencegahan berbasis keluarga di kelompok bawah yang mana paling rentan membutuhkan dana cepat,’’ tambah Rahman.

Kasus Bunuh Diri Judi Online
Tahun ini, jumlah kasus bunuh diri karena judi online sebanyak 15 orang dengan usia yang rata-rata muda. Umur termuda adalah 20 tahun. Total kasus bunuh diri sejak 2022 hingga 2024 ini sebanyak 26 orang.

Gabungan antara jeratan utang pinjol dan kecanduan judi online sungguh mengerikan efeknya. Dan itu bisa menjerat nyaris semua golongan dan umur.

Sama seperti pinjol, judol juga menyasar keluarga, sehingga tidak saja berdampak buruk pada perorangan, tapi juga berakibat mengerikan kepada anggota kelauarga yang. Itu pula penjelasan kenapa ada istri yang membunuh suami, dan suami yang membunuh istri. Serta, meningkatkan jumlah perceraian seperti diungkapkan Menteri Agama.

Memberantas judi online ini, dan juga pinjol, karena sifatnya yang menggunakan teknologi, mesti membutuhkan cara-cara kreatif dan terobosan yang tidak biasa. Jika tidak, kita masih akan melihat berita tentang orang, keluarga, dan anak-anak yang terjerat judol dan pinjol.

‘’Larang anak-anak sebelum kelas tiga SMP atau kelas 12 untuk tidak memakai hp atau tidak membawa hp ke sekolah. Orang tua tidak memanjakan anak dengan main hp hanya karena orang tua tidak mau anaknya rewel.’’

Buta Huruf Digital
Di Abad 21 ini, kecakapan dasar baca, tulis dan hitung sudah tidak memadai lagi. Mesti segera ditambahkan kecakapan dasar digital, agar tidak buta huruf. Kalau tidak cakap digital, masyarakat akan mudah tersesat, menjadi korban kejahatan digital, polarisasi sosial dan tentu saja tidak bisa memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan taraf hidupnya.

‘’Buta huruf baca, tulis dan menghitung sudah tidak ada lagi, tapi buta huruf digital masih banyak. Itu pekerjaan rumah Kementerian Komunikasi dan Digital. Terlebih namanya sudah diganti,’’ terang Rahman.

Apalagi teknologi digital terus berkembang dengan kecepatan luar biasa yang menjungkirbalikan semua aspek kehidupan kita. ‘’Dulu kita diajarkan untuk percaya apa yang kita lihat sebagai fakta. Tapi sekarang, di masa AI, apa yang kita lihat belum tentu fakta. Bisa jadi itu fiksi.’’

Jadi menurut Center for Financial and Digital Literacy, penetrasi internet hingga ke pelosok terluar Indonesia adalah satu hal tapi kecerdasan digital adalah hal lain lagi. Malah ketersediaan internet hingga daerah terluar, bisa berdampak buruk jika masyarakatkanya masih buta huruf digital.

‘’Selain soal kejahatan, juga bisa menjadi sumber polarisasi sosial seperti yang sudah kita saksikan beberapa tahun ini. Sisi gelap media sosial sudah kita lihat, dan semua itu butuh literasi yang memadai untuk menangkalnya,’’ kata Rahman menjelaskan.(Sumber)