Terkait masa depan perekonomian dunia yang pastinya berdampak ke perekonomian nasional, Ketua Badan Angggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah punya analisa yang narasinya ‘ngeri-ngeri sedap’.
Sepanjang 2025 yang bershio ular kayu, Said sangat mengkhawatirkan kerasnya goncangan ekonomi yang bakal dihadapi China (Tiongkok). Padahal, China merupakan salah satu mitra dagang terbesar bagi Indonesia. “Tiongkok dihadapkan perang tarif dengan Amerika Serikt (AS) dan Uni Eropa,” ujar Said, Jakarta, dikutip Sabtu (4/1/2025).
Kemungkinan besar, kata politikus PDIP ini, Uni Eropa memberlakukan bea masuk 43 persen untuk mobil listrik ‘made in’ China. Dan, ketika Donald Trump resmi menjadi Presiden AS, China bakal menghadapi hantaman ekonomi yang lebih dahsyat. Bea masuk yang cukup mahal bakal ditetapkan Trump kepada produk-produk China.
Jika perekonomian China terpuruk, politikus kawasan berpenampilan plontos ini, menyebut dampaknya pasti ke Indonesia. Nilai ekspor komodoitas Indonesia ke China dipastikan terjun bebas. “Indonesia perlu mencari pasar-pasar baru,” imbuhnya.
Ketika eskalasi perang dagang antara China yang dikeroyok Uni Eropa dan AS membesar, kemungkinan besar, nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS semakin babak belur.
“Diplomasi perdagangan internasional dan pengaturan lebih ketat lagi atas devisa hasil ekspor, menjadi sangat penting dalam situasi seperti ini,” ungkapnya.
Situasi di internal alias dalam negeri, kata Said, tak kalah beratnya. Indonesia telah mengalami penurunan jumlah kelas menengah, pelemahan daya beli, anjloknya konsumsi rumah tangga yang dipastikan berdampak kepada perekonomian nasional.
“Mau tak mau, pemerintah lebih fokus ke UMKM yang menyerap pekerja dalam jumlah besar. Pastikan pelaku UMKM masuk dalam rantai pasok program makan bergizi gratis (MBG),” kata Said.
Jangan lupa, industri manufaktur jangan diberi kendor sedikitpun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 21,28 persen pada 2014. Namun susut menjadi 18,67 persen pada 2023.
“Peluang yang bisa ditempuh pemerintah hanya dengan perluasan program hilirisasi yang saat ini masih di sektor nikel. Perluasan hilirisasi bisa merambah bahan tambang selain nikel, perkebunan, pertanian, dan kehutanan, terutama yang menjadi kebutuhan rantai pasok global,” ungkapnya.
Hal lain yang perlu dibenahin, menurut Said, masih tingginya Incremental Output Rasio (ICOR) Indonesia di level 6. Masih tinggi meski infrastuktur fisik sudah banyak dibangun dalam 10 tahun terakhir.
Masalahnya, kata Said, praktik korupsi dan ketidakefisienan birokrasi masih terjadi. Untuk menurunkan ICOR Indonesia bisa dengan pemberantasan korupsi secara serius. Ketika ICOR rendah maka investasi akan deras mengalir ke Indonesia. “Dengan ICOR yang rendah maka produk ekspor Indonesia bisa berdaya saing di pasar global,” tutup Said.(Sumber)