Ekonom Celios (Center of Economic and Law Studies), Media Wahyudi Askar menilai ada dua blunder besar yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Salah satunya, aplikasi pajak Coretax banyak masalah.
“Dua blunder besar yang menjadi sorotan publik saat ini, terkait pengelolaan kebijakan PPN dan implementasi Coretax yang menimbulkan kritik, atas kurangnya kesiapan teknis dan komunikasi yang efektif,” kata Media kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (17/1/2025).
Terkait Suryo Utomo yang menjabat Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, lebih dari 5 tahun, dinilai terlalu lama. Asal tahu saja, Suryo dilantik sebagai Dirjen Pajak pada 1 November 2019. Rata-rata masa jabatan dirjen pajak di era reformasi, maksimal 5 tahun.
“Rotasi kepemimpinan dapat mencegah stagnasi atau resistensi internal terhadap perubahan, sehingga mendorong kinerja yang lebih baik. Penting untuk diingat bahwa selama masa jabatan dirjen saat ini, terdapat dua blunder besar tadi,” ungkap Media.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti meminta maaf atas gangguan dalam implementasi layanan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax, yang berlaku sejak 1 Januari 2025.
“Kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh wajib pajak atas terdapatnya kendala dalam penggunaan fitur-fitur layanan Coretax DJP,” kata Dwi, Jumat (10/1/2025).
Kendala itu, kata Dwi, menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dan keterlambatan administrasi perpajakan. Sejauh ini, DJP telah mengambil sejumlah langkah perbaikan untuk mengatasi kendala yang dihadapi wajib pajak.
Dwi menyampaikan langkah-langkah tersebut termasuk memperluas jaringan dan peningkatan kapasitas bandwith. Hingga 9 Januari 2025, wajib pajak yang berhasil mendapatkan sertifikat elektronik untuk faktur pajak berjumlah 126.590. Selain itu, ada 34.401 wajib pajak yang berhasil membuat faktur pajak. Faktur pajak yang telah divalidasi atau disetujui berjumlah 236.221.
KPK Turun Tangan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusut dugaan korupsi megaproyek Coretax yang menelan anggaran lebih dari Rp1,3 triliun.
Hal ini sejalan dengan kewenangan KPK berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Apalagi, KPK sudah menyatakan siap bertindak jika ada pihak yang melaporkan.
“Terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor 24 Tahun 2005 yang mengizinkan 790 wajib pajak kembali menggunakan aplikasi e-faktur lama, karena masalah di sistem Coretax, secara tidak langsung pemerintah mengakui bahwa proyek ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Mengingat besarnya anggaran yang digunakan, ada dugaan penyimpangan yang perlu diusut lebih lanjut,” paparnya.
Menurut IWPI, kata Rinto, sistem Coretax yang diharapkan menjadi tulang punggung bagi modernisasi pajak, justru menimbulkan masalah signifikan dalam pelaksanaannya. Hal ini tidak hanya merugikan pemerintah, tetapi juga mengganggu kepentingan wajib pajak. IWPI menilai, KPK memiliki landasan kuat untuk proaktif menyelidiki, tanpa harus menunggu laporan masyarakat.
“Dengan nilai proyek yang sangat besar dan pentingnya sistem ini bagi penerimaan negara, dugaan korupsi yang melibatkan aparat atau penyelenggara negara sudah memenuhi syarat bagi KPK untuk turun tangan,” tegas Rinto.
Dia berharap agar penyelidikan KPK segera dilakukan demi memastikan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dan menciptakan sistem perpajakan yang bersih dan terpercaya.
“IWPI selaku organisasi independen yang bergerak untuk melindungi hak dan kepentingan wajib pajak di Indonesia, sekaligus mendorong terciptanya sistem perpajakan yang adil, transparan, dan akuntabel,” ungkapnya.(Sumber)