Kasus eksekusi lahan di kawasan Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, berbuntut panjang.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Negara dan Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN), Nusron Wahid kini turun langsung.
Ia menemui sejumlah warga yang terdampak eksekusi tersebut pada Jumat (7/2/2025) lalu.
Saat menemui sejumlah warga, laki-laki yang berpenampilan khas mengenakan kacamata hitam ini mendengarkan keluhan sejumlah warga yang merasa dirugikan akibat eksekusi lahan.
Sebab mereka menunjukkan bukti kalau lahan yang dimilikinya masing-masing memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).
Usai mendengar keluhan dan mencari duduk permasalahan dengan pihak relevan, Nusron mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak Pengadilan Negeri (PN) Cikarang Kelas II selaku eksekutor.
Lalu ia akan memanggil pihak relevan, dalam hal ini yang wajib bertanggung jawab ganti rugi kepada warga terdampak.
Pihak-pihak tersebut diminta bertanggung jawab atas tindakan eksekusi merobohkan bangunan di lahan sertifikat M706.
“Kemudian kami akan panggil mediasi kepada pihak-pihak yang bersengketa,” kata Nusron saat ditemui awak media di lokasi sekitar lahan yang dieksekusi.
“Seperti Mimi Jamilah kami panggil, keluarga Kayat kami panggil, dan sebagainya,” imbuhnya.
“Tujuannya untuk mengganti, kami akan berusaha memperjuangkan mengganti rumah yang sudah digusur,” tegas Nusron.
Nusron menuturkan, ganti rugi tersebut adalah hal yang lumrah.
Sejumlah warga yang terdampak rumahnya digusur tersebut adalah pembeli yang sah dan tidak terlibat dalam sengketa.
Lalu SHM yang dimiliki para warga juga dipastikan sah dan berlaku sesuai hukum, sehingga disimpulkan sejumlah lahan yang dieksekusi tersebut tidak sesuai dengan denah sengketa.
“Karena beliau (warga terdampak rumahnya dirobohkan) membangun dengan sah, membeli dengan sah, dan beliau ini kalau itu ada konflik, sebagai korban, beliau tidak pernah terlibat di situ semua,” jelasnya, melansir Warta Kota.
“Total ada empat sertifikat yang nomornya M704, M705, M706, dan M707, ini tadi kami cek, ternyata di luar peta daripada obyek yang disengketakan, persisnya di lahan M706 tadi, di luar itu,” pungkas Nusron.
Diketahui sebelumnya, PN Cikarang Kelas II melakukan eksekusi pengosongan lahan di Perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2 pada Kamis (30/1/2025), yang dimulai sekitar pukul 17.00 WIB.
Eksekusi di luas lahan 3,3 hektare tetap dilakukan, walaupun sejumlah penghuni diketahui memiliki SHM.
Humas PN Cikarang, Isnanda Nasution mengatakan, hal itu dikarenakan sesuai delegasi dari PN Bekasi dengan putusan awal nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
“Sudah tidak bisa lagi (menggugat), ini kan sudah Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung (MA), terus kemudian kami ingin ada kepastian hukum,” kata Isnanda saat ditemui awak media di sekitar lokasi eksekusi, Kamis.
Isnanda menjelaskan, walaupun sejumlah penghuni diketahui memiliki SHM, tentu status hukumnya justru tidak kuat dengan putusan delegasi.
Sebab putusan delegasi tercantum dalam SHM no 325/Jatimulya yang saat ini menjadi Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Sehingga dapat disimpulkan proses eksekusi lahan berhak dilakukan dan mulai berlangsung sekira pukul 17.48 WIB.
“Artinya sertifikat yang dimiliki oleh para penghuni tidak berkekuatan hukum dalam putusan itu, dan sertifikat nomer 325 itulah yang sah,” jelasnya.
Setelah penggusuran yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Cikarang Kelas II, Cluster Setia Mekar Residence 2 di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, tampak sepi.
Diketahui, PN Cikarang Kelas II menggusur 27 bidang tanah di cluster tersebut berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS yang dikeluarkan pada 25 Maret 1997.
Dalam eksekusi tersebut, tanah dan bangunan yang terlibat mencakup ruko, warung, serta lahan seluas 3.100 meter persegi.
“Untuk penghuninya total 14 orang,” ujar perwakilan developer cluster, Ahmad Bari, saat ditemui Kompas.com di Tambun Selatan, Minggu (2/2/2025).
Sebelum eksekusi dilakukan, pihak pengadilan melayangkan surat pemberitahuan kepada seluruh penghuni rumah, termasuk pemilik ruko, pada 18 Desember 2024.
Surat tersebut berisi informasi rencana eksekusi pengosongan lahan pada 20 Januari 2025, yang mengejutkan developer dan warga.
Para penghuni klaster mengeklaim memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dari Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Bekasi atas rumah mereka.
“Kami tidak tahu duduk perkaranya. Pertempurannya antara siapa dengan siapa, kami enggak tahu,” ucap Bari.
Ia juga menuduh, penggusuran yang dilakukan pada Kamis lalu merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) PN Cikarang Kelas II.
“Abuse of power itu dilakukan oleh PN Cikarang bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja,” ungkap Bari, Senin (3/2/2025).
Bari menilai, eksekusi yang dilakukan oleh PN Cikarang banyak melanggar aturan dan undang-undang yang berlaku.
Pertama, sudah ada perlawanan penolakan eksekusi.
Kedua, eksekusi pengosongan lahan tidak dibacakan di atas obyek sesuai kedudukan sertifikat hak milik (SHM) dan tidak didengar oleh para pihak.
Ketiga, eksekusi dilakukan di luar jam dinas operasional.
Menurut dia, dasar hukum perlawanan warga sangat jelas, merujuk pada Buku II MA tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus.
“Berdasarkan Pasal 207 (3) HIR dan 227 RBG, perlawanan ini tidak menangguhkan eksekusi, kecuali apabila segera tampak bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan,” jelas Bari.
Sebagai developer, Bari mengaku bertanggung jawab atas pengosongan lahan yang terjadi dan siap melawan melalui gugatan penolakan eksekusi di PN Cikarang serta PN Kota Bekasi.
Bari juga mengungkapkan, sebagai developer, ia telah memenuhi dua aspek utama dalam pengembangan properti, yaitu legalitas tanah berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) dan legalitas bangunan berupa Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Ia merinci langkah-langkah yang telah dilakukan dalam proses transaksi jual beli, termasuk pengecekan melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SKPT) yang menunjukkan bahwa SHM tidak terblokir, tidak ada sita, dan tidak ada sengketa.
Pembayaran pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) juga telah divalidasi.
“Hak dan kewajiban para pihak telah dijalankan secara benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ucap Bari.(Sumber)