Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menyayangkan sistem aplikasi pajak Coretax yang dibangun dengan anggaran Rp1,3 triliun, namun masih banyak kendala hingga saat ini.
“Awalnya aplikasi Coretax diharapkan bisa menambah penerimaan negara dari pajak. Setelah beroperasi malah menyulitkan wajib pajak. Kalau dalam ilmu kebijakan publik, ini adalah kegagalan. Kalau soal (Dirjen Pajak Suryo Utomo) mundur atau tidak, itu kan sudah politis ya. Tapi, menurut saya, tanpa disuruh harusnya sudah mundur,” kata Trubus kepada Inilah.com, Jakarta, Senin (17/2/2025).
Trubus menilai, anggaran pembangunan Coretax sebesar Rp1,3 triliun, cukup besar. Sayangnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak pernah menyampaikan secara transparan kepada publik. Baru setelah bermasalah, publik tahu adanya proyek Coretax senilai Rp1,3 triliun.
“Jangan salahkan publik jika menilai Coretax ini sama dengan proyek e-KTP. Sama-sama pentingnya tapi jadi lahan untuk mencari cuan dari sekelompok orang. Jadi ajang korupsi. Akhirnya apa, banyak masalah di sana-sini,” imbuhnya.
Sementara, ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rijadh Djatu Winardi menyebut, Coretax belum bisa berfungsi optimal karena terlalu terburu-buru dan kurang matang.
“Ada kesan proses pra-implementasi dilakukan dengan terburu-buru, dan kurang matang, mengingat waktu persiapannya sangat singkat. Antara pertengahan hingga akhir Desember 2024,” kata Rijadh, dikutip dari ugm.ac.id, Senin (17/2/2025).
Rijadh membeberkan adanya indikasi perencanaan, pelaksanaan dan mitigasi risiko yang tidak optimal. Bahkan, tahapan implementasi Coretax terutama proses deployment, data migration, dan load balancing, tidak berjalan optimal. Akibatnya mencuat sejumlah masalah teknis yang dikeluhkan berbagai pihak. Mulai gangguan pada sistem, kesulitan migrasi data, serta minimnya pelatihan bagi pengguna akhir.
Dia memaparkan, terdapat 4 faktor yang menjadi biang kerok terkendalanya Coretax. Pertama, sistem yang belum siap menangani akses massal. Adanya lonjakan traffic secara real-time, menyebabkan terjadinya bottleneck di jaringan dan sistem yang membuat waktu respons server melambat dan sulit diakses.
Kedua, kata dia, adanya bug di beberapa fungsi penting sistem Coretax. Misalnya, proses pelaporan, validasi data, dan otomatisasi perpajakan yang masih mengalami runtime errors dan data validation failures.
“Proses quality assurance (QA) dan user acceptance testing (UAT) tampaknya belum bisa dilakukan secara menyeluruh. Sehingga banyak kendala yang muncul,” paparnya.
Ketiga, kapasitas sistem yang tidak mencukupi dan arsitektur sistem yang tidak efisien. Arsitektur yang didesain tidak siap untuk skalabilitas tinggi, berdampak kepada mudahya sistem mengalami service disruptions ketika volume data melonjak.
Terakhir, kelemahan dari pemakaian Commercial Off-The-Shelf (COTS) software. Di mana, Coretax dibangun berbasis COTS masih menjawab solusi generik saja. Sedangkan perpajakan di Indonesia, memiliki karakteristik yang unik. Sehingga diperlukan customization untuk menjawab hal tersebut. “Perlu dilakukan rollout program secara bertahap hingga siap digunakan,” katanya.
Meski demikian, Rijadh mengakui ide di balik Coretax, sangat baik dan strategis. Nantinya, Coretax menjadi bagian penting dari reformasi perpajakan yang bertujuan untuk memperkuat administrasi pajak, melalui digitalisasi. Selain itu, reformasi perpajakan bertujuan untuk memperbaiki tax gap yang ada di Indonesia.
“Tax gap yang tinggi menunjukkan adanya potensi penerimaan pajak yang belum optimal,” jelas Rijadh.(Sumber)