News  

Saat Pemerintah Efisiensi Anggaran, Bau Amis Aplikasi Murahan Tapi Mahal Coretax Menyeruak Kemana-mana

Terkendalanya layanan Coretax, aplikasi pajak digital senilai Rp1,3 triliun, memberikan dua risiko besar. Setoran pajak seret yang membuat APBN babak belur, serta dugaan korupsi. Siapa bertanggung jawab?

Sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, banyak wajib pajak mengeluhkan sulit mengakses aplikasi Coretax. Jika untuk masuk saja susah, layanan pajak lain yang tersemat dalam aplikasi canggih itu, menjadi mubazir.

Setidaknya ada 22 masalah di Coretax yang dikeluhkan wajib pajak. Mulai sulit log ini, pengurusan NPWP, hingga pendaftaran Coretax. Intinya, Coretax membuat wajib pajak menjadi cepat naik darah.

Saking jengkelnya, banyak wajib pajak yang melontarkan sumpah serapah dan kata-kata kasar lewat media sosial (medsos). Seolah, Coretax adalah ‘cobaan’ berat bagi wajib pajak. Karena gagal, dan gagal lagi.

Celakanya, ketika Coretax gagal diimplementasikan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tak menyiapkan layanan cadangan, sebagai alternatif. Bisa jadi karena DJP terlalu ‘pede’ bahwa Coretax adalah aplikasi yang nyaris sempurna. Ternyata abal-abal karena banyak masalah.

Atas banyaknya masalah di Coretax, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo santai saja. Dia menganggapnya sebagai hal biasa. Maklumlah barang baru, volume akses dari para wajib pajak, terlalu tinggi.

“Jadi dengan akses yang bersamaan mempengaruhi kinerja sistem (Coretax),” kata Suryo, dalam konferensi pers kinerja APBN di kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2025).

Kemudian, Suryo yang lebih dari 5 tahun ini menduduki kursi Dirjen Pajak itu, menyampaikan janji manis.  Akan memperbaiki Coretax dalam waktu cepat, serta menghapuskan seluruh sanksi wajib pajak yang terlambat mengurus kewajiban pajaknya.

“Nanti kita pikirkan supaya tidak ada beban tambahan kepada masyarakat pada waktu menggunakan sistem baru yang mungkin sedikit berbeda dengan sistem yang selama ini digunakan,” kata Suryo.

Usai janji itu, kendala di Coretax, justru semakin menjadi-jadi. Kondisi ini jelas membahayakan keuangan negara. Ketika wajib pajak yang menurut data DJP, berjumlah 64 juta pada 2024, tak bisa menunaikan kewajiban pajaknya, penerimaan negara bakal amburadul.

Berdampak kepada defisit APBN yang bakal merembet ke mana-mana.  Solusi tercepat biasanya ditempuh pemerintah dengan menambah utang baru. Ingat, utang warisan rezim Jokowi sudah seleher.

Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang pemerintah mencapai Rp8.680,13 triliun per November 2024. Atau naik sekitar 1,39 persen ketimbang Oktober 2024 yang mencapai Rp8.560,36 triliun.

Sedangkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sepanjang 2024 mencapai 39,36 persen. Atau naik ketimbang 2023 sebesar 39,21 persen. Artinya, utang naik namun penerimaan negara baik dari pajak malah ambles atau tetap.

Tahun ini, pemerintah mencanangkan target pajak Rp2.490,91 triliun. Cukup ambisius.  Tahun lalu saja, target pajak dipatok Rp1.988,9 triliun. Namun realisasinya di bawah angka itu alias jeblok. Tepatnya mencapai Rp1.932,4 triliun atau 97,2 persen dari target.

Nah, tahun ini, perekonomian dalam negeri diperkirakan masih gonjang-ganjing, dampak dari ketidakpastian global. masalah pajak semakin runyam manakala aplikasi Coretax malah terkendala.

Sementara, pemerintahan Prabowo Subianto perlu dana super jumbo untuk membiayai program-program unggulan, seperti makan bergizi gratis (MBG), cek kesehatan gratis (CKG) dan semuanya yang gratis-gratis.

Demi mewujudkan program itu, anggaran di kementerian dan lembaga (K/L) pun dipangkas besar-besaran. Namun semua kebijakan itu rusak gara-gara Coretax bermasalah.

Waktu terus berjalan, janji Suryo menyelesaikan berbagai kendala di Coretax hanya ‘omon-omon’. Semakin banyak wajib pajak yang kecewa dan mati akal erornya Coretax. Ini jelas tamparan keras bagi Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati.

Namun, dengan kerendahan hati, Sri Mulyani meminta maaf dan mengakui banyaknya kendala di layanan Coretax. “Kepada seluruh wajib pajak, saya mengucapkan maaf dan terima kasih atas pengertian dan masukan yang diberikan selama masa transisi ini,” tulis Sri Mulyani di akun Instagramnya, @smindrawati, Kamis (23/1/2025).

Dia pun mengunjungi sejumlah kantor pelayanan pajak (KPP) di Jakarta, yakni KKP Kebayoran Baru, KKP Perusahaan Masuk Bursa, dan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar atau Large Tax Office (LTO).

Untuk sekadar menemui para wajib pajak yang dibikin sulit Coretax. Langkah ini merupakan upaya membangun sistem perpajakan yang lebih terintegrasi, efisien, dan akuntabel.

“Kami berharap Wajib Pajak terus memberikan dukungan dalam upaya kami menyempurnakan sistem Coretax,” tuturnya.

Tak ingin Sri Mulyani semakin kehilangan muka, Komisi XI DPR memanggil DJP Kemenkeu pada 10 Februari 2025. Usai rapat yang mendadak digelar ‘tertutup’ itu, Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun mendesak DJP menunda implementasi penuh Coretax.

Selanjutnya, seluruh layanan pajak dijalankan paralel dengan sistem lama, yakni DJP Online, e-Faktur Desktop, dan lain-lain.

Selain itu, kata Misbakhun, DJP wajib segera menyempurnakan Coretax, khususnya memperkuat sistem keamanan sibernya. “Direktorat Jenderal Pajak, harus melaporkan perkembangan Coretax kepada Komisi XI DPR, secara berkala,” tutup Misbakhun.

Bongkar-bongkaran Vendor Coretax

Masalah yang mendera Coretax sejak dilaunching pada 1 Januari 2025, menarik perhatian ‎Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI).

Aplikasi Coretax yang digarap sejumlah lembaga bereputasi dunia, anggarannya Rp1,3 triliun, malah banyak masalah. Saat ini berfungsi tidak penuh. Ketika pemerintah menggalakkan efisiensi anggaran, wajar jika banyak pihak menyoroti proyek ini.

“Kami telah melaporkan ke KPK. Terkait dugaan korupsi proyek Coretax yang anggarannya Rp1,3 triliun lebih,” kata Rinto Setiyawan, Ketua Umum (Ketum) IWPI di KPK, Jakarta, Kamis, (23/1/2025).

kpk111.jpg
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Foto: Antara).

Rinto menyampaikan, IWPI telah menyerahkan sejumlah bukti dugaan korupsi proyek Coretax yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu. Anggarannya dikucurkan periode 2020–2024.

Selanjutnya IWPI mempertanyakan kredibilitas PricewaterhouseCoopers (PwC) yang ditunjuk sebagai panitia tender Coretax. Lantaran, rekam jejak PwC tercoreng skandal pajak di Inggris dan Australia.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mendorong KPK segera menindaklanjuti laporan dugaan korupsi Coretax dari IWPI.

Dia mendapatkan informasi, perangkat lunak atau software dari Coretax dibeli dengan harga murah dari Eropa Timur yakni Qualisoft Wina, Austria. Di mana,pemerintah Austria menggunakan software buatan Qualisoft untuk layanan pajak mereka.

Hanya saja, jumlah penduduk Austria hanya 9 juta jiwa. Sementara Indonesia lebih dari 280 juta jiwa. Selain itu, layanan pajak di Austria tidaklah serumit di Indonesia. Sehingga pantas saja ketika Coretax melayani puluhan juta wajib pajak, dengan ratusan juta transaksi, langsung jebol.

“Periksa saja seluruh pihak atau pejabat yang mengetahui atau melaksanakan proyek tersebut, tanpa sebut nama,” ungkap Boyamin.

Beberapa waktu lalu, MAKI melayangkan surat permohonan dokumen kepada DJP Kemenkeu terkait pengadaan Coretax.

Surat yang ditujukan kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo bernomor 77/MAKI-LPI/II/2025, dalam rangka memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan DJP.

Adapun dokumen yang diminta, terkait Harga Perkiraan Sendiri (HPS), beserta rincian perhitungan; berita acara pemberian penjelasan prakualifikasi dan tender tahap II; peserta tender yang telah mendaftar serta memenuhi syarat administrasi dan teknis; berita acara hasil evaluasi prakualifikasi dan tender tahap II, termasuk poin-poin kriteria evaluasi yang digunakan.

Terkait, informasi mengenai mekanisme dan proses sanggahan terhadap hasil tender yang telah diumumkan; dan salinan kontrak final antara pemenang tender dan instansi terkait.

“Yang sangat lebih menjengkelkan adalah sikap diamnya, bungkamnya Dirjen Pajak. Tidak pernah menjelaskan apa-apa,” kata Mas Boy, sapaan akrabnya.

Pada Rabu (19/2/2025), IWPI menyerahkan bukti tambahan kepada tim penelaah Direktorat Pelayanan Laporan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK. Mulai dari biaya proyek Rp1,3 triliun hingga tunjangan 169 pegawai DJP yang masuk tim Coretax sebesar Rp1,676 triliun.

Penasihat Hukum IWPI, Alessandro Rey menambahkan, aplikasi Coretax yang bermasalah sejak Januari 2025, menyebabkan penurunan setoran pajak hingga Rp122 triliun. Jika ditambahkan biaya proyek ditambah pengeluaran untuk tim Coretax, mencapai Rp123,6 triliun. Itulah yang disebut potensi kerugian dari Coretax.

“Penggunaan Coretax ini berpotensi menimbulkan pidana pajak karena ada kebocoran wajib pajak yang kemudian bisa dilihat atau kemudian bisa disalahgunakan oleh wajib pajak lain,” ungkap Rey.

Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti melaporkan, jumlah faktur pajak yang telah diterbitkan sepanjang Januari 2025, mencapai 52,50 juta.

Sementara pada Februari 2025 mencapai 6,91 juta faktur. Dari jumlah tersebut yang telah divalidasi atau disetujui sebesar 46,9 juta pada Januari dan 6,20 juta pada Februari 2025.

Kini bolanya berada di KPK. Siapa yang harus bertanggung jawab atas kualitas minim Coretax yang dibiayai dengan anggaran besar. Apakah laporan dugaan korupsinya bakal dibongkar, atau malah masuk tong sampah di Gedung Merah Putih itu. (Sumber)