Pemberantasan praktik mafia migas tidak cukup hanya melalui penindakan terhadap pelaku, tetapi juga harus disertai dengan perbaikan sistem pengawasan yang lebih ketat.
Hal itu ditegaskan oleh Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Yuris Rezha Darmawan.
Yuris juga menegaskan, pengawasan terhadap tata kelola minyak dan gas (migas) perlu diperkuat setelah munculnya dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah pimpinan di PT Pertamina Patra Niaga, PT Pertamina International Shipping, dan PT Kilang Pertamina Internasional.
“Dalam memberantas praktik-praktik mafia migas. Tidak hanya melalui penindakan terhadap pelaku, tetapi juga melalui perbaikan sistem pengawasan yang lebih ketat di sektor migas,” ujarnya dalam keterangannya di Yogyakarta, Selasa, (4/3).
Menurut Yuris, kasus dugaan korupsi ini mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap tata kelola migas, termasuk dalam kebijakan impor.
Terlebih lagi, praktik tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu antara 2018 hingga 2023.
Ia menjelaskan skema korupsi tersebut diawali dengan pengondisian agar produksi minyak mentah dalam negeri menurun yang kemudian dijadikan dasar untuk melakukan impor minyak mentah.
“Modus seperti ini sebetulnya bukan yang pertama kali. Bahkan di kasus-kasus korupsi impor yang lain, modus korupsi terencana selalu dimulai dari pengondisian jumlah suatu produk sehingga pemerintah punya dalih untuk melakukan impor,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yuris menyebut proses impor tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai ladang korupsi, dengan cara pengondisian pemenang bagi perusahaan eksekutor impor serta praktik mark up harga impor.
Dalam kasus PT Pertamina Patra Niaga, praktik ini tidak hanya merugikan konsumen yang mengonsumsi BBM, tetapi juga berdampak signifikan terhadap kerugian negara.
Oleh karena itu, ia berharap kejaksaan serius dalam membongkar seluruh pihak yang terlibat. (Sumber)