Mendiang ekonom senior Dr Rizal Ramli pernah mengingatkan tentang kerentanan ekonomi Indonesia, terutama terkait utang pemerintah yang semakin membengkak.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu pernah menyebut ekonomi nasional layaknya sebuah “gelembung” yang siap pecah kapanpun, kalau tidak dikelola dengan hati-hati.
“Kondisi ekonomi Indonesia seperti sebuah ‘gelembung’ yang siap meletus dengan peniti-peniti kebenaran dan fakta riil,” kata Rizal pada 2020 lalu, dikutip RMOL pada Selasa 18 Maret 2025.
Peniti tersebut, menurut Rizal, berupa utang Indonesia yang kian ugal-ugalan di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Per Januari 2025, rasio utang Indonesia bahkan sudah mencapai mencapai 39,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan posisi utang pemerintah Rp8.909 triliun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari peringatan Rizal pada 2020 ketika utang Indonesia masih berada di level 29,8 persen dari PDB.
Padahal angka 29,8 persen tersebut jauh melampaui batas aman bagi negara berkembang, yang idealnya berada di bawah 22 persen dari PDB.
“Rasio yang lazim digunakan untuk negara berkembang adalah kemampuan bayar utang yang dilihat dari Debt-Service/Export Revenue. Batas aman adalah 20 persen,” ujar Rizal.
Ia juga mengkritik klaim pemerintah yang menyebut rasio aman utang Indonesia bisa mencapai 60 persen dari PDB. Menurutnya, standar tersebut diadopsi dari negara-negara maju dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang memiliki rasio pajak lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
“Rasio pajak negara-negara OECD adalah 30 persen, maka ditetapkan rasio pajak dua kali 30 persen, sama dengan 60 persen. Sementara Indonesia, rasio pajak hanya 10 hingga 11 persen. Artinya, rasio aman utang Indonesia seharusnya adalah dua kali 11 persen, alias 22 persen,” paparnya.
Peringatan Rizal Ramli itu semakin relevan di tengah kondisi pasar saham yang mengalami tekanan besar saat ini. Pada Selasa siang, 18 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 6 persen ke level 6.076. Kondisi tersebut memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan sementara.
Pengamat pasar modal dari Panin Sekuritas, Reydi, menilai anjloknya IHSG menandakan berkurangnya kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi nasional.
Ketidakpastian kebijakan yang kerap berubah dinilai sebagai faktor utama yang membuat investor menarik diri dari investasi di Indonesia.
“Level ketidakpastiannya masih tinggi karena kebijakan sering berubah, sehingga belum mendapatkan kepercayaan investor,” kata Reydi kepada RMOL, Selasa 18 Maret 2025.(Sumber)