Bamsoet: Pimpin MPR dan Pimpin Golkar?

Bambang Soesatyo (Bamsoet) akhirnya didapuk memimpin salah satu lembaga tinggi Negara, MPR RI. Sosok yang dikenal muda, energik dan jabatan terakhir sebagai ketua DPR menjadi alasan dugaan itu dialamatkan padanya. Tentu saja kalkulasi politik karena peluang meyakinkan Bamsoet di hadapan para anggota MPR paling besar.

Persaingan mengerucut pada Bamsoet dan Ahmad Muzani. Di detik terakhir Ahmad Muzani harus menyatakan dukungan setelah 9 fraksi MPR mendukung Bamsoet. Pertandingan selesai sebelum dimulai dan akhirnya menggunakan aklamasi dalam memilih Bamsoet.

Ada yang menggaransikan dengan memberikan mandat ke Bamsoet akan bisa melanjutkan program pengenalan empat pilar, revisi UU MD3, menghidupkan kembali GBHN sampai melibatkan secara lebih peran DPD RI.
Seperti pada praktik politik lainnya, negosiasi material itu belum tentu sempurna dipenuhi. Banyak alasan untuk tidak mengindahkan semua imbalan dari dukungan tersebut. Semua itu bukan barang mudah untuk diraih dengan ragam dinamika politik.

Yang paling menarik terpilihnya Bamsoet dikaitkan dinamika internal Partai Golkar. Dugaan dukungan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto bukan tanpa imbalan, sangat mudah dipatahkan. Mengingat waktu Munas Beringin membentang sampai Desember 2019 memungkinkan lahir manuver baru.

Tidak ada larangan pasti dalam membalikkan keadaan dinamika internal Partai Golkar yang hari-hari terakhir ini terasa teduh. Kebersamaan Airlangga-Bamsoet dalam menyukseskan agenda pemilihan ketua MPR boleh jadi tidak bertahan lama. Ini sebagai jeda dalam ronde pertandingan yang masih panjang.

Golkar yang terkenal sebagai partai dengan segudang pengalaman dan aktor politik kawakan sudah sangat matang untuk melakukan manuver penuh kejutan. Iklim demokrasi dalam pohon beringin ini terbilang paling unik dibandingkan partai lain di tanah air.

Hanya Golkar yang mampu mengganti pucuk pimpinan secara bergiliran dengan dinamika politik di atas rata-rata pasca reformasi bergulir. Alur kepentingan di Golkar sangat sulit ditebak sekaligus punya efek politik luar biasa, bahkan bisa melahirkan partai baru pasca pelaksanaan munas.

Gerindra dan NasDem yang saat ini masuk lima besar adalah anak emas dari perseturuan dalam pohon beringin itu. Baik Prabowo maupun Surya Paloh adalah politisi senior dalam Golkar yang akhirnya memutuskan membuat partai baru dibandingkan harus terus berada dalam persaingan begitu dinamis dan daya kejut luar biasa itu.

Golkar boleh dibilang sebagai sebagai sekolah politik bagi sebagian politisi di tanah air. Politisi keluar dari dan masuk ke Partai Golkar adalah fakta lapangan yang menunjukkan bahwa pengalaman dan dinamika Partai Golkar banyak memikat banyak orang.

Dengan segala keunikan tersebut, pasca keterpilihan Bamsoet sebagai Ketua MPR RI nampaknya peseturuan menuju Munas sebenarnya hanya mengambil nafas istirahat. Paling cepat akan dimulai setelah turbulensi aksi massa karena penolakan ada pengesahan UU KPK dan beberapa RUU lain yang ditengarai kurang memperhatikan rasa keadilan masyarakat.

Persaingan Airlangga-Bamsoet menuju pucuk pohon beringin pada akhirnya akan kembali bergejolak dengan tidak mengindahkan kemesraan yang mereka pertontonkan sebelum pemilihan Ketua MPR RI digelar. Drama paling ditunggu banyak pihak di tengah adem ayem setiap hajatan pemilihan pucuk pimpinan partai.

Jika pemilihan di Munas Golkar nanti menggunakan cara aklamasi dengan memilih Airlangga, maka pertanda baru di Golkar. Karena sejak reformasi, Golkar tidak pernah menjadikan Munas sebagai orkestra politik dengan ritme membosankan. Apakah ini baik atau malah sebaliknya bagi keberlansungan Partai Golkar?

Kita lihat dan simak sampai Desember 2019 [katta]