News  

Indikator Ekonomi Indonesia Mengkhawatirkan, Anthony Budiawan: “Lampu Merah Sudah Menyala”

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan/Net

Ekonom senior sekaligus Direktur Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, kembali mengkritisi kondisi ekonomi Indonesia yang menurutnya semakin mengkhawatirkan. Dalam sebuah diskusi terbaru, ia menyoroti berbagai indikator ekonomi yang menunjukkan tanda-tanda peringatan serius. Mulai dari beban utang yang semakin besar, penurunan daya beli masyarakat, hingga melemahnya nilai tukar Rupiah. Menurutnya, jika kondisi ini dibiarkan, Indonesia bisa mengalami krisis ekonomi yang lebih dalam.

Dalam analisisnya, Anthony Budiawan menyoroti lonjakan utang pemerintah yang semakin membebani anggaran negara. Menurut data terakhir, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) telah mencapai angka yang mengkhawatirkan.

“Secara nominal, utang pemerintah terus meningkat, tetapi yang paling berbahaya adalah beban bunga utang yang semakin besar. Saat ini, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara sudah menyentuh angka 19,2%,” ujar Anthony dalam pernyataan kepada Radar Aktual, Kamis (27/3/2025).

Ia menjelaskan bahwa kondisi ini menempatkan Indonesia dalam situasi yang rentan. Semakin besar porsi pendapatan negara yang digunakan untuk membayar bunga utang, semakin kecil ruang fiskal yang tersisa untuk belanja produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

“Kalau hampir 20% pendapatan negara hanya untuk bayar bunga utang, bagaimana kita bisa membiayai pembangunan yang lain? Kita terjebak dalam lingkaran utang yang semakin besar,” tegasnya.

Selain masalah utang, Anthony juga menyoroti pelemahan nilai tukar Rupiah yang terus terjadi. Dalam beberapa bulan terakhir, Rupiah mengalami depresiasi terhadap Dolar AS, yang menurutnya disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal dan kebijakan domestik yang kurang efektif.

“Ketika Rupiah melemah, harga barang impor naik, biaya produksi naik, inflasi juga ikut naik. Ini menekan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Menurut Anthony, langkah pemerintah yang terus menarik utang luar negeri untuk menambah cadangan devisa bukanlah solusi jangka panjang.

“Ini seperti doping, efeknya sementara. Kalau cadangan devisa naik karena utang, maka ketika jatuh tempo, kita harus bayar kembali dengan bunga yang lebih tinggi. Ini bukan strategi yang sehat,” tambahnya.

Anthony juga mengkritik klaim pemerintah yang menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga. Menurutnya, pertumbuhan yang didorong oleh belanja pemerintah dan utang tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang sehat.

“Pertumbuhan ekonomi itu harus berkualitas, artinya menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat. Kalau pertumbuhannya hanya dari proyek-proyek pemerintah yang dibiayai utang, maka itu bukan pertumbuhan yang berkelanjutan,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa kondisi di lapangan menunjukkan hal yang berbeda dari data resmi pemerintah.

“Lihat saja UMKM yang masih kesulitan, tingkat pengangguran yang belum sepenuhnya pulih, dan harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik. Itu semua menunjukkan bahwa ekonomi kita belum benar-benar pulih,” paparnya.

Sebagai solusi, Anthony Budiawan menyarankan pemerintah untuk segera melakukan reformasi fiskal yang lebih ketat. Salah satunya dengan mengurangi ketergantungan terhadap utang dan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan anggaran.

Ia juga menekankan pentingnya kebijakan moneter yang lebih proaktif dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi.

“Bank Indonesia harus lebih agresif dalam menjaga stabilitas Rupiah. Jangan hanya fokus pada suku bunga, tetapi juga perkuat kebijakan yang mendukung sektor riil agar ekonomi bisa tumbuh lebih sehat,” tutupnya.