News  

Anthony Budiawan: Kebijakan Trump akan Seret Dunia ke Jurang Resesi

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan/Net

Dunia kembali diguncang oleh kebijakan proteksionisme ekstrem dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dalam langkah yang dianggap paling agresif sepanjang sejarah perdagangan internasional modern, Trump memberlakukan tarif resiprokal putaran kedua terhadap produk-produk impor dari China, yang membuat total beban tarif mencapai 104 persen.

Langkah ini bukan sekadar tekanan ekonomi, tetapi sebuah pesan politik dan strategi negosiasi “tanpa kompromi” yang dilontarkan Trump kepada dunia. Trump memulai gerakan ini pada 2 April 2025 dengan menetapkan tarif impor dasar 10 persen terhadap seluruh negara. Di atas tarif dasar ini, ia menambahkan tarif resiprokal bervariasi untuk masing-masing negara berdasarkan selisih neraca perdagangan, dengan China menerima tarif tertinggi sebesar 54 persen.

Kebijakan tersebut langsung memicu respons keras dari Beijing. Sehari kemudian, China menerapkan tarif balasan sebesar 34 persen terhadap seluruh produk asal Amerika Serikat. Menurut Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), respons China ini justru memperlihatkan titik ambang yang bersedia ditoleransi Beijing: sekitar 20 persen kenaikan tarif tambahan.

“Balasan China itu sebenarnya sinyal bahwa mereka hanya bisa menerima tambahan tarif sekitar 20 persen. Jangan 54 persen, apalagi digandakan lagi,” kata Anthony kepada Radar Aktual, Rabu (9/4/2025)

Namun Trump tidak melunak. Ia justru merespons balik dengan tarif resiprokal putaran kedua sebesar 50 persen tambahan khusus untuk China, menjadikan total tarif mencapai 104 persen. Ini bukan sekadar angka, tetapi sinyal bahwa Trump benar-benar tidak memiliki niat untuk bernegosiasi dalam posisi kompromi.

“Trump sangat serius dengan strategi tarif resiprokal ini. Baginya, defisit perdagangan Amerika Serikat adalah ancaman utama, dan harus dilawan habis-habisan. Tidak ada titik mundur. Ini adalah doktrin ‘nothing to lose’,” ujar Anthony.

Lebih dari sekadar manuver dagang, kebijakan Trump ini dinilai sebagai bagian dari strategi “decoupling” ekonomi global, terutama antara AS dan China. Trump secara terbuka menyampaikan kepada rakyat Amerika bahwa jika kesepakatan perdagangan yang adil tidak bisa didapatkan, maka lebih baik Amerika tidak berbisnis sama sekali dengan negara-negara tersebut.

“We’re going to get fair deals and good deals with every country, and if we don’t, then we’re going to have nothing to do with them,” kata Trump dalam pidatonya, yang dikutip media internasional.

Menurut Anthony, dalam logika Trump, tidak berbisnis dengan dunia luar justru menguntungkan Amerika. “Trump meyakini bahwa jika Amerika berhenti mengimpor dari dunia luar, maka negara ini bisa menghemat hingga satu triliun dolar AS setiap tahun,” ujarnya.

Namun apa yang dianggap rasional secara sepihak oleh Trump, bisa menjadi malapetaka global. Anthony Budiawan memperingatkan bahwa kebijakan tarif resiprokal putaran kedua ini akan menjerumuskan ekonomi dunia ke dalam resesi yang lebih dalam daripada krisis sebelumnya.

“Efek domino dari kebijakan ini tidak hanya akan melukai China atau Amerika, tetapi seluruh dunia. Negara-negara pengekspor akan kehilangan pasar. Negara berkembang akan terjebak dalam stagnasi. Bahkan negara maju akan menghadapi tekanan inflasi dan gangguan rantai pasok yang serius,” tegas Anthony.

Menurutnya, permainan belum selesai. “Ini bisa jadi hanya awal. Negara lain mungkin akan mengikuti jejak China melakukan retaliasi terhadap AS. Atau sebaliknya, China bisa melanjutkan eskalasi dengan balasan lanjutan. Ketidakpastian semakin tinggi,” katanya.

Dalam analisis Anthony, saat ini seluruh dunia sedang berada dalam posisi terjepit. Negara-negara tidak bisa hanya diam, namun sekaligus juga tidak punya banyak ruang untuk bermanuver.

“Kita hanya bisa menonton, sambil was-was. Nasib ekonomi dunia sedang dipertaruhkan. Dan siapa pun yang terlibat, pasti akan terkena dampak. Semua pihak akan terhimpit oleh resesi yang tidak bisa dihindari jika konfrontasi ini terus berlanjut,” tutupnya.