Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar, Soedeson Tandra, menyayangkan kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) dalam perkara vonis lepas ekspor crude palm oil (CPO) senilai Rp 60 miliar.
Soedeson menilai, kasus ini merupakan tamparan keras terhadap wajah penegakan hukum di Indonesia.
Dia mengaku tak mempersoalkan vonis lepas atau tidak. Sebab, hal tersebut ada dalam independensi hakim.
“Tetapi kemudian di belakang itu kalau terjadi masalah kongkalikong antara terdakwa dengan pengacara dengan hakim, itu harus kita berantas,” kata Soedeson saat dihubungi, Senin (14/4/2025).
Suap tersebut diduga diberikan agar hakim memberikan putusan ontslag atau vonis lepas kepada tiga perusahaan sawit besar: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Dari total dana suap itu, sebesar Rp 22,5 miliar disebut dibagikan kepada tiga hakim yang menangani perkara: Agam Syarif Baharuddin (PN Jakarta Pusat), Ali Muhtarom (PN Jakarta Pusat), dan Djuyamto (PN Jakarta Selatan).
Soedeson menyatakan keprihatinannya dan mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk bertindak tegas terhadap oknum aparat penegak hukum yang terlibat.
Menurutnya, praktik suap dalam pengambilan putusan hukum merusak kepercayaan publik dan mencoreng integritas lembaga peradilan.
“Ini kan menampar wajah penegakan hukum di negeri kita. Ini di Jakarta kan. Bayangkan saja itu bisa terjadi seperti ini. Ini menampar wajah penegakan hukum kita,” ucap Soedeson.
Soedeson menjelaskan, yang menjadi masalah bukan semata-mata soal vonis lepas, melainkan adanya indikasi suap yang memengaruhi putusan hakim.
“Masalah putusan bebas, lepas apa pun kita enggak jadi masalah. Yang kita permasalahkan itu adalah mereka karena ada sesuatu maka melepaskan orang atau membebaskan orang,” tegasnya.
Sebelumnya, Kejagung menetapkan empat tersangka dalam perkara ini. Mereka adalah MAN, Ketua PN Jakarta Selatan; WG, panitera muda di PN Jakarta Utara; serta MS dan AR, dua advokat yang diduga sebagai pihak pemberi suap.
“Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.
Qohar menjelaskan, suap diberikan untuk memengaruhi putusan dalam perkara korporasi sawit terkait pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya.
“Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN) diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah,” ujar Qohar.
“Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, di mana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG,” sambungnya.
Putusan ontslag tersebut dijatuhkan kepada tiga perusahaan besar, padahal sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga Rp 17 triliun.
Dalam pengembangan kasus, Kejagung juga menetapkan tiga hakim sebagai tersangka, yakni Djuyamto sebagai Ketua Majelis Hakim, Ali Muhtarom sebagai Hakim AdHoc, dan Agam Syarif Baharuddin sebagai Hakim Anggota.(Sumber)