DISKUSI Hilirisasi dengan nara sumber Fachry Ali pada acara buka puasa KAHMI di kediaman Menteri ESDM, Rabu (12/3), menarik minat saya untuk hadir.
Saking menariknya, saya membatalkan tindakan kolonoskopi di rumah sakit pada hari itu.
Mestinya saya dirawat di RS, tetapi saya memaksakan hadir untuk mendengarkan paparan Fachry Ali tentang topik sangat menarik itu.
Gagasan dan program Presiden Prabowo tentang hilirisasi dan pelaksanaan amandemen UU Menirba menjanjikan harapan baru, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonedia.
Kekayaan alam Indonesia saatnya untuk memakmurkan seluruh rakyat, sesuai Pasal 33 UUD 45 sebelum diamandemen.
Dan tokoh muda Bahlil Lahadalia, dipercaya menjadi Ketua Satgas Hilirisasi serta Menteri ESDM.
Selain itu, saya sudah lebih 40 tahun tidak ketemu sobat saya yang namanya cukup kondang ini.
Terakhir ketika saya mengantarkan Bung Fachry ke rumahnya di Rawasari, tak jauh dari tempat tinggal saya di Rawamangun, setelah mengikuti diskusi dgn topik: “Indonesia Tahun 2000”, pd tahun 1980 di Puncak.
Diskusi tersebut diikuti Gus Dur, Romo Mangunwijaya, sejumlah pakar lingkungan hidup dan energi dari berbagai universitas serta beberapa intelelektual muda termasuk Bung Fachry.
Pada waktu itu banyak pakar yang skeptis dan melihat abad ke-21 sebagai masa depan suram dunia, terutama Indonesia.
Bahkan, begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo meramalkan Pulau Jawa akan menjadi padang pasir pada tahun 2000, jika kerusakan lingkungan dan kepadatan penduduk tdk terkendali.
Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) merencanakan membuat film fiksi ilmiah utk menggambarkan berbagai kemungkinan yg bisa terjadi pada abad 21 yang ketika itu tinggal 20 tahun lagi.
YIS meminta saya membuat kajian sebagai bahan pendukung skenarionya.
Diskusi di kawasan Puncak yang sejuk itu, bagian dari kegiatan tersebut.
Paparan Fachry Ali setelah acara buka puasa bersama itu cukup menarik dan menghibur.
Dimulai dengan era tanaman paksa tahun 1830, hingga era liberalisasi ala kolonial tahun 1870.
Dalam uraiannya Fachry mengutip beberapa nama kondang Indonesianis: Ben Anderson, Clifford Geertz dan Herbeth Feith.
Sebagai diketahui, di penghujung abad 19 itu utk mendukung perolehan devisa melalui perkebunan, mulai diterbitkan sejumlah undang-undang (UU).
Antara lain UU Agraria, UU Tembakau, UU Gula. Karena sifatnya mengolah komoditas menjadi barang jadi, mungkin kebijakan itu dapat dikatakan hilirisasi dalam bentuk yang sederhana.
Bahkan, pada tahun 1899, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan UU Minerba pertama. Indische Mijnwet (IMW).
UU ini tidak efektif untuk menarik minat swasta warga Belanda. Baru setelah Politik Etis, Ethische Politiek kolonial Hindia Belanda (1901-1942), perlahan dibuka regulasi untuk menarik investor di bidang industri.
Menurut ekonom Thee Kian Wie, politik etik atau sering juga disebut politik balas jasa Balanda terhadap pribumi, program utamanya adalah: edukasi, industrialisasi, irigasi dan transmigrasi. Maka dimulailah era industrialisasi di Indonesia.
Penanaman modal asing, dipelopori British Sugar Company mendirikan pabrik gula Mojo (1902).
British American Tobacoo mendirikan pabrik BAT di Surabaya (1910).
Investor Asing Belanda, Inggris dan Amerika mulai tertarik membangun industri minyak, tekstil dan semen.
Dalam kaitan hilirisasi, pabrik ban pertama dan tertua di Indonedia GoodYear (1935) dan sepatu Bata yg membangun pabriknya di Kalibata dan Medan (1939) dapat disebut pelopor hilirisasi di indonesia.
Mengolah komoditas karet menjadi barang jadi ban dan sepatu.
Fachry Ali bisa saja bicara lebih dalam tentang praktek dan prospek hilirisasi, terutama dengan pengalamannya pernah menduduki jabatan Komisaris Utama PT Timah Tbk.
Timah merupakan bahan baku penting untuk industri otomotif dan konstruksi.
Pasti akan sangat besar nilai tambah diperoleh Indonesia jika pd komoditas timah dilakukan hilirisasi.
Tetapi dia tergoda juga untuk membahas peranan Partai Golkar, sebagai partai besar.
Pernah menjadi pemenang pemilu 2004. Sekarang tuan rumah, Bahlil Lahadalia menjadi ketua umum partai besar itu.
Mungkin untuk melengkapi analisis ekonomi politik ringkasnya tentang hilirisasi, Fachry mencoba menarik korelasi posisi strategis Bahlil sebagai Ketua Satgas Hilirisasi dan Menteri ESDM, sekaligus juga Ketum
DPP Golkar.
Giliran tuan rumah berbicara, Bahlil Lahadalia bukan saja melengkapi pemahaman saya mengenai hilirisasi.
Tetapi sekaligus juga menjelaskan latar belakang disertasi doktornya di UI yang justru tentang hilirisasi.
Saya berbuat dulu, baru mencari landasan akademiknya di Universitas Indonesia dengan menyusun disertasi itu, ungkap Bahlil.
Sejak saya menjabat di Kementerian Investasi, saya menyusun peta jalan hilirisasi sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Judul disertasi Bahlil: Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia.
Studi doktoralnya membahas empat dampak hilirisasi yang perlu disesuaikan kebijakannya.
Pertama ketidakadilan dana transfer daerah;
Kedua kurangnya andil pengusaha daerah;
Ketiga terbatasnya perusahaan untuk hilirisasi bernilai tambah tinggi;
Dan keempat belum terdapat rancangan diversifikasi pasca-tambang.
Beberapa permasalahan yang ditemukan Bahlil pun dijawab dengan empat rekomendasi kebijakan.
Pertama, melakukan formulasi ulang terhadap alokasi dana bagi hasil (DBH), terkait program hilirisasi.
Ia menyarankan DBH ditingkatkan 30-45 persen menjadi penerimaan negara.
Saran kedua, menekankan perlunya penguatan kebijakan mitra bersama pengusaha daerah.
Penyediaan dana jangka panjang direkomendasikan dalam disertasinya tsb, perlu disediakan kepada sejumlah perusahaan hilirisasi nasional.
Ia mengajukan pertanyaan mendasar: mengapa nilai tambah hilirisasi hanya diperoleh pihak asing?
“Jawabannya, dikarenakan perbankan nasional yang belum membiayai investasi di sektor hilirisasi,” ujarnya.
Ia juga merekomendasikan, perlu ketentuan yang mewajibkan investor menjalankan diversifikasi dalam jangka panjang.
Apa yang menarik dari diskusi pada acara buka bersama itu?
Bahli Lahadalia ingin mengatakan bahwa ia adalah “The Man of Action”, bertindak dulu, bukan makhluk omon2. Tentu dengan dasar pengetahuan praktik yang teruji, sebagai individu yg sering ia nyatakan: “sejak belum lahir hidup saya sudah susah,” karena bersal dari keluarga sangat miskin di Papua.
Namun dengan pengalamannya sebagai aktivis, pengusaha dan politisi sukses menduduki jabatan mentri bahkan ketua partai besar, ia ingin melengkapi identitas pribadinya sebagai orang terdidik.
Menjadi “the man of thingking” sebagaimana teori Prof Daoed Yoesoef (1978) dalam kontek yg berbeda tetapi relevan utk memahami tokoh muda Papua ini dalam perspektif teori Sosiologi Biografi Howard S. Becker (1970).
Becker berpendapat, biografi individu dapat digunakan sebagai alat untuk memahami proses sosial dan bagaimana individu membangun identitas sosial mereka melalui pengalaman hidup mereka.
Melalui teori dan metologi Sosiologi Biografi itu, Becker ingin memahami secara empirik bagaimana seorang individu menginterpretasikan dan memberikan makna pada pengalaman hidup seorang tokoh yang mempengaruhi interaksi sosial mereka dengan orang lain.
Dengan pemahaman seperti itulah mungkin Rektor Universitas memutuskan utk memberikan kesempatan kepada praktisi bisnis dan politik tergolong sukses itu untuk memperbaiki disertasinya serta mempublikasikannya di jurnal ilmiah yang kredibel.
RS Mayapada Jaksel, 19 Maret 2025.
Antony Z Abidin
*Penulis adalah wartawan senior, sosiolog alumni UI, partisipant observer, Pengurus DPP Golkar 1988-2004 dan Anggota DPR RI 2 periode pemilu.