News  

Kajian Politik Merah Putih: Ketegasan Pidato Presiden Prabowo tak Tentu Arah

Prabowo Subianto (IST)

Ada nada berbeda dalam arahan Presiden Prabowo Subianto pada 30 April 2025 di Istana Negara. Bukan sekadar pidato kenegaraan, tapi seperti memo dari garis depan. Bukan tentang perang fisik, melainkan perang jati diri bangsa.

Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih, mengaku tercengang. Bukan karena ancaman perang dunia, reshuffle kabinet, atau wacana pergantian wakil presiden. Tapi karena satu kalimat dari Presiden: “Banyak pejabat, akademisi, bahkan purnawirawan, tidak memahami sejarah dan persoalan nasional,” ungkapnya kepada Radar Aktual, Selasa (6/5/2025).

“Itu bukan teguran, itu cambuk,” kata Sutoyo.

Presiden bicara soal panasnya geopolitik dunia: Rusia-Ukraina belum usai, Israel makin agresif, Iran dan Yordania seperti bom waktu, dan ketegangan Amerika-Tiongkok makin terasa. Indonesia tetap non-blok, tapi bukan berarti pasif. “Netral, tapi bukan non-reaktif,” ujar Prabowo.

Lebih jauh, Presiden membuka borok lama: 5 juta hektare hutan bermasalah, tambang ilegal, investor asing yang bertingkah seperti penjajah. Semuanya akan dibenahi, katanya, melalui program DANANTARA—Daya Anagata Nusantara. Sebuah inisiatif besar yang digadang-gadang menjadi mesin energi masa depan Nusantara.

Ia juga bicara soal ketahanan pangan. Indonesia mencatat serapan beras tertinggi, hingga Jepang datang membeli dengan harga Rp 115 ribu per kilo. Sementara di dalam negeri, harga masih Rp 15 ribuan. Tapi ancaman tetap ada: mafia pangan, distribusi yang semrawut, dan pupuk yang terjebak birokrasi.

Suntikan Rp 500 triliun akan digelontorkan, bukan hanya untuk proyek besar seperti jalan tol atau IKN, tapi untuk koperasi, apotek, dan gudang ikan. Semacam revival ekonomi kerakyatan. Tapi seperti disindir oleh Sutoyo, “sejarah kita terlalu sering digagalkan oleh pelaksana, bukan oleh konsep.”

Presiden juga menanggapi sinis suara-suara dari kalangan purnawirawan. “Saya juga purnawirawan,” katanya. Bukan marah, tapi menusuk. Sebuah isyarat bahwa ia mendengar, tapi tidak tunduk.

Dan akhirnya, soal UUD 1945. Prabowo mengatakan sedang dikaji. Tapi ia tidak berjanji. “Itu baik,” kata Sutoyo, “karena masalah bangsa ini bukan kekurangan janji, tapi kekurangan nyali.”

Sutoyo menyimpulkan, arah pidato itu seperti memo perang. Perang melawan mentalitas inlander, melawan predator global, dan melawan elite yang hanya ingin nyaman di kekuasaan.

“Pertanyaannya sekarang,” kata Sutoyo, “siapa yang benar-benar siap di belakang Prabowo? Bukan yang sekadar hormat. Tapi yang bisa bilang: Saya di sini untuk bekerja, bukan cuma bersuara.”