Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa Indonesia tak bisa lagi bergantung pada konsensus global yang dinilai semakin rapuh dan tidak konsisten. Hal ini disampaikan dalam diskusi bertema Arah Kebijakan Geostrategis dan Geopolitik Indonesia yang digelar MPO DPP Partai Golkar di Aula 1, Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (08/05/2025).
“Geopolitik hari ini tidak sepenuhnya urusan dagang. Kita harus melihat posisi geostrategis kita, memahami kelebihan dan kekurangan kita, serta membaca kelemahan dunia. Semua negara berpikir untuk mengamankan kepentingan domestiknya,” ujar Bahlil.
Ia mencontohkan bagaimana beberapa negara kini mulai mundur dari komitmen pengurangan emisi yang dahulu digagas dalam Paris Agreement. Menurutnya, hal ini menjadi tamparan bahwa konsensus global kini tak lagi bisa menjadi pegangan mutlak.
“Jika bicara Asia Tenggara, maka bicara Indonesia. Kita negara dengan penduduk terbesar keempat dunia, dan 60 persen populasi ASEAN itu di Indonesia. Ekonomi kita terbesar di kawasan dan masuk 16 besar dunia dalam G20,” tegas Menteri ESDM Kabinet Merah Putih ini.
Bahlil juga menyoroti kekayaan sumber daya alam Indonesia, termasuk nikel, kobalt, mangan, dan tembaga, yang menjadi rebutan dunia untuk pengembangan industri hijau. Namun, ia mengakui masih ada tantangan besar seperti rendahnya penetrasi pasar global dan keterbatasan teknologi.
“Kita pernah dijajah 360 tahun dan hanya diminta kirim barang mentah. Tahun 2019 kita hentikan ekspor nikel dan tetap melangkah walau Uni Eropa menggugat ke WTO. Kita tidak akan melakukan kesalahan kedua,” tegas Bahlil.
Ia menyebutkan bahwa kebijakan hilirisasi telah membuat Indonesia menjadi eksportir nikel terbesar di dunia, dengan arus investasi besar-besaran dari Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Korea, hingga Eropa. Menurutnya, hal ini adalah bukti bahwa dunia mulai mengakui peran strategis Indonesia dalam rantai pasok global.
“Cadangan nikel dunia 43 persen ada di Indonesia. Komponen industri hijau itu butuh nikel, kobalt, mangan, dan lithium. Kita punya semua kecuali lithium. Maka jangan anggap kami bangsa bodoh lagi,” ucapnya.
Menyoal kondisi dalam negeri, Bahlil menyoroti pentingnya memperkuat daya beli masyarakat dan memastikan distribusi pendapatan yang adil. Ia menilai, pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,8 persen pada kuartal I 2025 masih sangat bergantung pada konsumsi domestik yang menyumbang 58 persen terhadap PDB.
“Kalau mau amankan kepentingan nasional, maka harus ada keadilan sosial. Pendapatan per kapita kita harus bisa mencapai USD 9.000–10.000. Dan ini tidak bisa lepas dari keberhasilan hilirisasi,” katanya.
Bahlil menutup pidatonya dengan pesan tajam kepada negara-negara maju yang kerap tidak nyaman dengan kebijakan hilirisasi Indonesia.
“Jangan pernah berpikir negara maju akan membiarkan negara berkembang seperti Indonesia menjadi negara maju. Tapi kami tidak akan mundur. Hilirisasi harus menjadi bagian dari kesepakatan G20. Indonesia akan mengikuti, asal ada solusi konkret.” pungkasnya. (Golkarpedia)