Tragedi Kanjuruhan Malang menyisakan trauma mendalam bagi mereka yang terlibat dalam kejadian ini. Namun, persidangannya penuh dengan kejanggalan, membuat banyak korban merasa tidak adil akan hasilnya.
Pada 1 Oktober 2022, tepat di malam hari Stadion Kanjuruhan di Malang dipenuhi sorak sorai ribuan suporter yang mendukung tim kebanggaannya.
Pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya menjadi momen yang dinantikan, namun berubah menjadi tragedi kelam yang tak terlupakan.
Setelah peluit panjang dibunyikan dan kekalahan Arema FC diumumkan, suasana mulai memanas. Ratusan suporter turun ke lapangan, memicu kekacauan yang dengan cepat berkembang di luar kendali.
Aparat keamanan merespons dengan tembakan gas air mata ke arah tribun penonton. Alih-alih meredakan kerusuhan, tindakan ini justru memicu kepanikan massal di dalam stadion yang tidak memiliki cukup jalur evakuasi.
Dalam hitungan menit, ribuan orang berebut keluar dari tribun yang mulai sesak. Banyak yang terjatuh, terinjak, dan terjebak dalam desakan tanpa ruang untuk bernapas.
Tragedi Kanjuruhan bukan hanya soal sepak bola, namun juga berkaitan dengan nilai kemanusiaan, keamanan stadion, serta tanggung jawab semua pihak.
Banyak pertanyaan mulai muncul terkait dengan kejadian ini, apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana kronologi lengkap kejadian malam itu?
Kronologi Tragedi Kanjuruhan
Kerusuhan dalam Stadion Kanjuruhan, Malang terjadi selepas pertandingan antara Arema FC yang
Menurut Irjen Nico Afinta, Kapolda Jawa Timur (2020-2022), tidak ada permasalahan yang berarti selama proses pertandingan. Namun, kerusuhan mulai terjadi ketika pertandingan telah usai.
Sejumlah suporter merasa kecewa karena tim kesayangannya kalah. Mereka pun mencoba untuk memasuki lapangan. Menanggapi hal ini, aparat segera melakukan pengamanan terhadap tim ofisial dan pemain Persebaya.
Sementara itu, suporter yang masuk ke dalam lapangan semakin bertambah banyak. Polisi pun kemudian menembakkan gas air mata dengan maksud mencegah semakin banyaknya suporter yang turun ke lapangan.
Diketahui, polisi melepaskan 7 tembakan gas air mata ke tribun selatan, 1 tembakan ke tribun utara, dan 3 tembakan ke dalam lapangan. Hal ini pun membuat penonton merasa panik dan segera berusaha meninggalkan lapangan.
Namun, pintu stadion yang seharusnya telah dibuka 5 menit sebelum pertandingan selesai ternyata masih tertutup, sehingga membuat penonton yang berusaha keluar terjebak di dalamnya.
Penyebab Tragedi Kanjuruhan Menurut Pihak Polisi
Irjen Nico Afinta selaku Kapolda Jawa Timur kala itu menjelaskan bahwa penyebab terjadinya tragedi Stadion Kanjuruhan Malang adalah penumpukan massa yang melebihi kapasitas.
Hal tersebut disinyalir membuat penonton mengalami sesak napas dan kekurangan asupan oksigen.
Selain itu, mengutip dari Detik, Kadinkes Kabupaten Malang, Wiyanto Widodo menjelaskan bahwa mayoritas korban tragedi Kanjuruhan meninggal dunia karena mengalami sesak napas dan terinjak-injak saat panik.
Hasil Pengadilan
Mengutip dari Kompas, Kapolri mengumumkan enam orang yang bertanggung jawab dalam tragedi Kanjuruhan dan ditetapkan menjadi tersangka atas jatuhnya korban jiwa dalam tragedi itu.
Berikut adalah daftar tersangka resmi tragedi Kanjuruhan serta vonis hukumannya:
- Abdul Harris, Ketua Panitia Pelaksana Arema FC – pidana penjara 1,5 tahun.
- Ahmad Hadian Lukita, Direktur PT LIB – belum disidangkan.
- Soko Sutrisno, Security Officer – pidana penjara 1 tahun.
- Wahyu Setyo Pranoto, Kabag Ops Polres Malang – pidana penjara 2,5 tahun.
- Hasdarmawan, Brimob Polda Jawa Timur – pidana penjara 1 tahun 6 bulan.
- Bambang Sidik Achmadi, Kasat Samapta Polres Malang – pidana penjara 2 tahun.
Adapun, ketua panitia pelaksana, direktur PT LIB, dan security officer dinyatakan sebagai tersangka karena dinilai telah abai atas keselamatan penonton. Sementara itu, tiga polisi yang jadi tersangka dikarenakan telah memerintahkan penembakan gas air mata.
Berbagai Kejanggalan dalam Tragedi Kanjuruhan
Sementara itu Komisi untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan beberapa kejanggalan dalam pengungkapan tragedi Kanjuruhan, baik sebelum maupun selama proses peradilan dilakukan.
Berikut adalah beberapa kejanggalannya:
- Terdapat hoaks yang menjelaskan Kapolda Jawa Timur menyatakan bahwa penggunaan gas air mata telah dilakukan sesuai dengan SOP.
- Adanya dugaan obstruction of justice di mana kepolisian berupaya mengganti rekaman CCTV.
- Rekonstruksi pada tanggal 19 Oktober tidak dilakukan di Stadion Kanjuruhan, melainkan di Lapangan Mapolda Jawa Timur.
- Adanya ancaman kekerasan dan intimidasi kepada keluarga korban serta saksi.
- Terdakwa hanya dihadirkan secara daring selama proses peradilan.
- Anggota Polri diterima menjadi penasehat hukum dalam persidangan. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik kepentingan.
- Saksi-saksi cenderung didominasi aparat kepolisian.
- Hakim serta Jaksa Penuntut cenderung pasif saat menggali kebenaran materil.
- Pengaburan fakta penembakan gas air mata yang dilakukan ke bagian tribun penonton.(Sumber)