Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menyebut partai berlambang pohon beringin itu sebagai anak dari Muhammadiyah. Ungkapan ini mencerminkan kedekatan historis antara Golkar dengan Muhammadiyah, organisasi masyarakat Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan. Bahlil menegaskan bahwa lahirnya Sekber Golkar banyak melibatkan kader Muhammadiyah sehingga dianggap sebagai “ibu” bagi partai tersebut.
Hubungan erat antara Muhammadiyah dan Golkar memang telah terjalin sejak era Orde Baru. Soeharto, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah. Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu, KH AR Fachruddin, dikenal sangat bersahabat dengan Soeharto. Persahabatan ini ditandai dengan wakaf tanah oleh Soeharto seluas sekitar 25 hektar di Bantul, yang kini menjadi kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Menariknya, Soeharto juga pernah mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah, sebuah fakta yang semakin memperkuat hubungan personal tersebut.
Selain Soeharto, keterlibatan kader Muhammadiyah dalam tubuh Golkar juga tercermin pada tokoh seperti Din Syamsuddin. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Golkar pada periode 1998–2000 dan juga sebagai Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Golkar pada 1993–1998. Hal ini menunjukkan adanya irisan kuat antara kader Muhammadiyah dan Golkar.
Bahlil Lahadalia, sebagai Ketua Umum Golkar saat ini, mencoba merajut kembali narasi sejarah tersebut. Klaim bahwa Golkar adalah anak dari Muhammadiyah merupakan langkah strategis yang tidak sekadar mengukuhkan legitimasi historis, tetapi juga merangkul dukungan dari basis massa Muhammadiyah. Bahlil sebagai tokoh muda Golkar yang berlatar belakang pengusaha tentu memahami pentingnya menggali kembali akar sejarah Golkar dengan Muhammadiyah sebagai upaya memperkuat citra partai.
Ada beberapa alasan strategis mengapa Bahlil mengangkat isu ini. Pertama, narasi tersebut dapat memperkokoh basis dukungan Golkar di kalangan Muhammadiyah. Kedua, Bahlil sedang mencoba melakukan konsolidasi internal dengan mengaitkan partai kepada sejarah dan kedekatan dengan Muhammadiyah. Ketiga, dalam konteks Pilpres dan Pileg mendatang, Bahlil tampaknya menyadari pentingnya memperoleh dukungan dari ormas besar seperti Muhammadiyah yang memiliki pengaruh luas di masyarakat.
Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum Golkar mencoba menggugah kembali memori historis Golkar dengan Muhammadiyah. Hal ini bukan sekadar nostalgia, tetapi bagian dari upaya membangun identitas politik Golkar di tengah tantangan politik saat ini. Namun, bagaimana narasi ini akan diterima oleh Muhammadiyah dan kader-kadernya masih perlu diamati lebih lanjut, terutama dalam konteks dinamika politik nasional ke depan.
Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik dan Kader Muhamamdiyah Kudus