Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjadwalkan ulang pemanggilan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI, M. Fanshurullah Asa. Ia tidak hadir dalam pemeriksaan yang dijadwalkan pada Senin (19/5/2025).
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa jadwal pemeriksaan ulang akan diinformasikan lebih lanjut.
“Yang bersangkutan (Fanshurullah) tidak hadir, dan meminta untuk penjadwalan ulang. Nanti akan kami sampaikan jadwal pemeriksaannya,” ujar Budi kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, dikutip Selasa (20/5/2025).
Budi mengatakan, Fanshurullah akan diperiksa terkait kasus dugaan korupsi dalam jual beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk dengan PT Inti Alasindo Energy (IAE) pada periode 2017–2021.
“Tentu penyidik akan mendalami keterangan yang dibutuhkan dari saksi terkait dengan perkara yang sedang diperiksa, yaitu perkara terkait dengan jual beli gas,” tambahnya.
Fanshurullah dipanggil dalam kapasitasnya sebagai Ketua Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) periode 2017–2022. Ia juga diketahui tidak hadir dalam pemanggilan sebelumnya pada Rabu (14/5/2025).
Direktur PGN Ditahan KPK
Sebelumnya, KPK telah menahan dua tersangka dalam perkara ini pada Jumat (11/4/2025). Mereka adalah mantan Direktur Komersial PT PGN periode 2016–2019, Danny Praditya (DP), dan mantan Direktur Utama PT Isargas periode 2011–2024, Iswan Ibrahim (ISW), yang juga menjabat sebagai Komisaris PT IAE sejak 2006 hingga 2024.
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa kasus bermula dari keputusan DP yang memaksakan pembelian gas dari PT IAE, meski tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2017 dan tidak sesuai dengan tata kelola perusahaan.
DP disebut menginisiasi kerja sama melalui bawahannya tanpa melibatkan unit Pasokan Gas yang berwenang dalam urusan suplai. Ia memerintahkan tim pemasaran untuk menyusun kajian dan menjalin kerja sama dengan grup ISARGAS, serta meminta pembayaran uang muka sebesar 15 juta dolar AS.
Namun, dana yang dibayarkan pada 9 November 2017 itu tidak digunakan untuk pembelian gas. Sebaliknya, uang tersebut dipakai menutup utang IAE/ISARGAS kepada pihak ketiga, seperti PT Pertagas Niaga dan Bank BNI. Padahal, perjanjian kerja sama baru ditandatangani pada 2 November 2017, hanya sepekan sebelumnya.
Yang memprihatinkan, jaminan fidusia yang diberikan hanya senilai Rp16 miliar, jauh lebih kecil dibanding potensi kerugian yang ditanggung PGN.
Meski hasil due diligence tahun 2018 menyatakan ISARGAS tidak layak diakuisisi, kerja sama tetap dilanjutkan. Bahkan, skema jual beli gas bertingkat yang diterapkan dinilai melanggar Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016, sebagaimana ditegaskan oleh BPH Migas dan Kementerian ESDM.
Pada 2021, BPH Migas bersama Komisaris Utama PGN merekomendasikan penghentian kontrak dan menyarankan langkah hukum. Namun, kerugian telah terjadi. Pada Oktober 2024, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan negara mengalami kerugian sebesar 15 juta dolar AS akibat transaksi tersebut.
Kasus ini mengindikasikan adanya dugaan pelanggaran tata kelola perusahaan yang dilakukan secara sistematis oleh oknum internal PGN, dengan melibatkan pihak eksternal dari IAE dan grup ISARGAS. Proses hukum terus berjalan guna mengungkap penyalahgunaan wewenang dalam kerja sama yang merugikan keuangan negara.(Sumber)