News  

Pakar Forensik Bongkar Kejanggalan Teknologi pada Skripsi Jokowi

Ijazah Jokowi (IST)

Pakar Digital Forensik, Rismon Sianipar, kembali mengungkap temuan mencengangkan terkait keabsahan skripsi mantan Presiden Jokowi saat menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Rismon menyinggung perbedaan teknologi pengetikan antara skripsi milik Jokowi dan skripsi mahasiswa lain yang lulus di tahun yang sama.

“Lembar skripsi Budi Darmito, NIM 1568/KT, yang lulus 1985 dari Kehutanan UGM, menggunakan mesin ketik manual yang memang lazim di era tersebut,” ujar Rismon di X @SianiparRismon (28/5/2025).

Namun, lanjutnya, hal tersebut sangat berbeda dengan lembar pengesahan skripsi Jokowi yang justru menunjukkan indikasi penggunaan teknologi yang lebih modern dan tak sesuai dengan zaman.

“Pada lembar pengesahan skripsi Jokowi ditemukan algoritma string adjustment yang hanya bisa dihasilkan oleh word processor modern seperti Microsoft Word, bukan mesin ketik manual,” tegasnya.

Rismon pun mempertanyakan kejujuran pihak kampus. “Ayo UGM, jujurlah! Ini soal integritas akademik,” serunya.

Sebelumnya, Dokter Tifauzia Tyassuma atau yang akrab disapa Dokter Tifa, salah satu dari orang yang terus menyuarakan kritik.

Tifa mengungkap sedikitnya tiga poin yang menurutnya menunjukkan kejanggalan dalam penyampaian Bareskrim terkait keaslian ijazah Jokowi.

“Kalau Anda jeli, Bareskrim hanya menampilkan foto fotokopi, bukan ijazah asli. Padahal, sekian hari mereka menyimpan dokumen aslinya,” ujar Tifa di X @DokterTifa (26/5/2025).

Dikatakan Tifa, penyajian fotokopi dalam konteks klarifikasi keaslian dokumen menimbulkan pertanyaan, apalagi jika ijazah asli memang tersedia.

Poin kedua yang disoroti adalah ketiadaan penjelasan apakah foto-foto yang ditampilkan telah melewati proses uji digital forensik atau analisis analog oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor).

“Menampilkan fotonya fotokopi dan bukan fotonya ijazah asli, padahal sekian hari ijazah asli ada pada mereka,” sebutnya.

Poin paling penting menurut Tifa adalah diksi yang digunakan Bareskrim. Ia menyoroti pemilihan kata identik alih-alih otentik saat menyatakan keabsahan dokumen tersebut.

“Yang paling penting adalah, mengapa Bareskrim menggunakan kata identik dan bukan otentik,” tandasnya.

Tifa pun mempertanyakan mengapa konferensi pers tidak disertai bukti yang lebih kuat dan pembuktian ilmiah yang dapat menutup polemik yang sudah lama mencuat.

Hingga kini, pihak kepolisian belum memberikan tanggapan resmi terhadap kritik yang disampaikan Tifa. (Sumber)