News  

Mafia Tanah Dijerat Pasal Berlapis, Sanksi Hukum Hingga 9 Tahun Kurungan Penjara

Pernah dengar cerita orang yang tiba-tiba kehilangan tanah atau rumahnya, padahal semua suratnya lengkap? Bisa jadi, itu ulah mafia tanah. Tindakan tersebut bisa dijerat pasal berlapis dengan sanksi hukum yang berat.

Mafia tanah bukan cuma ada di film atau berita. Mereka benar-benar ada dan bisa merugikan siapa saja, bahkan tanpa disadari.

Bayangkan, tanah warisan keluarga yang sudah puluhan tahun dikuasai tiba-tiba diklaim orang lain, lengkap dengan dokumen bodong yang dianggap “resmi”. Lalu, bagaimana bisa itu terjadi?

Korupsi, kelengahan birokrasi, dan celah hukum menjadi ladang subur bagi para mafia ini. Mereka pandai memanfaatkan kelemahan sistem pertanahan di Indonesia.

Sebenarnya, sudah ada pasal-pasal hukum yang mengatur dan menangani kejahatan ini. Namun, seberapa efektifkah pasal-pasal tersebut melindungi warga biasa dari sindikat tanah?

Apa Itu Mafia Tanah?
Mafia tanah adalah seseorang atau sekelompok orang yang saling bekerja sama untuk menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah.

Untuk mendapatkan tujuannya, mereka kerap menggunakan cara-cara ilegal yang melanggar hukum, namun sudah terencana dan sistematis.

Dalam melancarkan aksinya, mafia tanah biasanya akan melakukan sejumlah modus operandi, mulai dari pemalsuan dokumen, pendudukan ilegal tanpa hak, hingga kolusi dengan oknum aparat.

Jerat Pasal Mafia Tanah
Mafia tanah dapat dijerat dengan pasal berlapis, karena hal tersebut dilakukan dengan berbagai tindak kejahatan.

Secara umum, ada beberapa pasal yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku mafia tanah, yaitu Pasal 167 Ayat (1) KUHP, Pasal 263 KUHP, Pasal 266 KUHP, Pasal 372 KUHP, hingga Pasal 385 KUHP.

Sanksinya pun bermacam-macam, mulai dari denda maksimal Rp4,5 juta hingga pidana penjara paling lama 9 tahun.

Berikut adalah isi dari masing-masing pasal tersebut:

Pasal 167 Ayat (1) KUHP
“Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.”

Pasal 263 KUHP
Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perjanjian, atau pembebasan utang, atau yang dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan seolah-olah benar atau tidak palsu, dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.
Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 266 KUHP
Barang siapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam sesuatu akta authentiek tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barang siapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.

Pasal 372 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.”

Pasal 385 KUHP
“Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun:

Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan, atau membebani dengan credietverband sesuatu hak tanah yang telah bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman, atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain;

Barang siapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan, atau membebani dengan credietverband, sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat yang telah dibebani credietverband atau sesuatu gedung bangunan, penanaman, atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak lain;

Barang siapa dengan maksud yang sama mengadakan credietverband mengenai sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat dengan menyembunyikan kepada pihak lain bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan;

Barang siapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu;

Barang siapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukannya kepada pihak yang lain bahwa tanah itu telah digadaikan;

Barang siapa dengan maksud yang sama menjual atau menukarkan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat untuk suatu masa, padahal diketahui, bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu juga.”

Contoh Kasus Mafia Tanah
Kasus mafia tanah sempat dialami oleh salah satu selebriti di Indonesia, yakni Nirina Zubir. Kasus mafia tanah keluarga Nirina Zubir bermula saat asisten rumah tangga, Riri Khasmita, memalsukan dan mengalihkan enam sertifikat tanah milik keluarga.

Sertifikat tersebut digadaikan dan dijual tanpa izin keluarga Nirina Zubir selaku pemilik asli.

Setelah ibu Nirina meninggal, Nirina dan saudaranya mengecek sertifikat di BPN dan menemukan sertifikat sudah berpindah tangan. Mereka lalu melaporkan kasus ini ke polisi pada Juni 2021.

Polisi menetapkan Riri, suaminya, dan tiga notaris sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Pasal 263, 264, 266, 372 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan penggelapan, serta UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kerugian keluarga Nirina diperkirakan mencapai sekitar Rp17 miliar. Kasus ini sempat menjadi sorotan karena melibatkan orang dalam yang menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi.(Sumber)