News  

Korupsi Berjamaah 93 Oknum Kemnaker Modus Pengurusan RPTKA Raup Rp. 53,7 Miliar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan delapan tersangka bersama 85 pegawai Direktorat PPTKA terkait korupsi Rp53,7 miliar, dengan modus pemerasan secara berjamaah dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dalam rentang waktu 2019-2024.

“Selama periode tahun 2019 sampai dengan 2024, jumlah uang yang diterima para tersangka dan pegawai dalam Direktorat PPTKA yang berasal dari pemohon RPTKA sekurang-kurangnya adalah Rp53,7 miliar,” kata Plh Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK, Budi Sokmo Wibowo ketika jumpa pers dengan awak media di Gedung Merah Putih KPK Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2025).

Disebutkan, para tersangka dan sejumlah pihak turut mengantongi uang haram ini baru mengembalikan Rp5,4 miliar ke KPK.

“Hingga saat ini para pihak termasuk para tersangka telah mengembalikan uang ke negara melalui rekening penampungan KPK dengan total sebesar Rp5,4 miliar,” ucap Budi.

Budi mengungkap, aliran tertinggi dikantongi oleh Haryanto (HY) Rp 18 miliar sebelumnya menjabat sebagai Direktur PPTKA Kemenaker periode 2019–2024 dan Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker pada 2024–2025. “HY sekurang-kurangnya Rp18 miliar,” ungkap Budi.

Di posisi kedua adalah Putri Citra Wahyoe (PCW), staf Direktorat PPTKA periode 2019–2024, yang diduga menerima sekurang-kurangnya Rp13,9 miliar. Sementara itu, Gatot Widiartono (GTW), yang menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta tahun 2019–2021, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PPTKA tahun 2019–2024, serta Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA Direktorat PPTKA tahun 2021–2025, disebut menerima Rp6,3 miliar.

Devi Anggraeni (DA), yang menjabat sebagai Koordinator Uji Kelayakan PPTKA tahun 2020 hingga Juli 2024 dan kemudian diangkat menjadi Direktur PPTKA pada 2024–2025, menerima aliran dana sedikitnya Rp2,3 miliar. Selanjutnya, Alfa Eshad (ALF) yang merupakan staf Direktorat PPTKA periode 2019–2024, diduga menikmati hasil pemerasan sebesar Rp1,8 miliar, sedangkan Jamal Shodiqin (JMS), dengan jabatan yang sama, menerima sekitar Rp1,1 miliar.

Dua nama lainnya yang juga turut menerima aliran dana adalah Wisnu Pramono (WP), mantan Direktur PPTKA tahun 2017–2019, dengan jumlah Rp580 juta, serta Suhartono (SH), Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker periode 2020–2023, dengan total penerimaan paling kecil, yakni Rp460 juta.

Selain ke delapan tersangka tersebut, KPK juga mencatat adanya aliran dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang didistribusikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA sebagai uang “dua mingguan”, dan dipakai pula untuk berbagai kepentingan pribadi hingga pembelian aset atas nama pribadi maupun keluarga.

Penelususan aliran uang dan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini masih terus dilakukan penyidikan.

“Penyidik menemukan fakta bahwa perbuatan pemerasan kepada para pemohon RPTKA di Kemenaker sudah dilakukan sebelum tahun 2019 dan hal ini masih terus dilakukan pendalaman,” ucap Budi.

Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengungkap praktik korupsi yang terstruktur dan sistematis. RPTKA sendiri merupakan dokumen wajib yang harus dimiliki oleh perusahaan yang hendak mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Proses penerbitan izin ini berlangsung di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemenaker.

Modus operandi para tersangka melibatkan verifikator yang secara selektif hanya memproses permohonan dari pihak pemohon yang sebelumnya telah menyerahkan sejumlah uang. Permohonan dari pemohon yang tidak memberi uang diulur-ulur atau bahkan tidak diproses sama sekali. Dalam beberapa kasus, pemohon terpaksa datang langsung ke kantor Kemenaker, di mana mereka kemudian “dibantu” oleh pegawai untuk mempercepat proses dengan syarat memberikan uang tertentu yang dikirim ke rekening yang telah ditentukan.

Pihak-pihak internal Kemenaker bahkan mengatur jadwal wawancara daring (melalui Skype) secara manual, dan hanya memberikan akses kepada pemohon yang mau menyetor uang. Padahal, tanpa dokumen RPTKA, tenaga kerja asing tidak bisa mendapatkan izin kerja dan tinggal, yang berdampak pada denda Rp1 juta per hari. Ancaman inilah yang membuat pemohon tak punya pilihan selain tunduk pada permintaan tersebut.

Tersangka utama yang menjabat sebagai pejabat tinggi di Kemenaker, seperti SH, HY, WP, dan DA, disebut memerintahkan staf verifikator seperti PCW, ALF, dan JMS untuk memungut uang dari para pemohon. Uang tersebut kemudian dibagikan secara rutin, digunakan untuk kepentingan pribadi, hingga membayar makan malam pegawai. Bahkan, sebanyak 85 orang pegawai Direktorat PPTKA ikut menerima aliran dana, yang totalnya diperkirakan mencapai lebih dari Rp8,9 miliar.

Sejauh ini, KPK mencatat nilai sementara hasil pemerasan tersebut sekurang-kurangnya mencapai Rp53,7 miliar. Dari jumlah tersebut, baru sekitar Rp5,4 miliar yang dikembalikan ke kas negara melalui rekening penampungan KPK. Sementara itu, penyitaan terhadap 13 kendaraan mewah dan berbagai barang bukti lainnya masih dilakukan, termasuk dokumen elektronik dari agen-agen pengurusan TKA.

Penyidikan masih terus dikembangkan, termasuk kemungkinan adanya praktik serupa sebelum 2019 yang kini menjadi fokus pendalaman KPK.(Sumber)