Dilansir dari Fast Company, beberapa melakukannya tanpa pemberitahuan, bahkan membagikannya di media sosial secara terbuka sebagai bentuk pelampiasan atau “balas dendam” terhadap lingkungan kerja yang dianggap tidak adil.
Berbeda dari quiet quitting yang dilakukan secara pasif, revenge quitting cenderung dramatis, emosional, dan memiliki potensi merusak hubungan antara karyawan dan perusahaan. Yuk, simak selengkapnya berikut ini!
Mengapa Revenge Quitting Makin Sering Terjadi?

Fenomena ini semakin menonjol di berbagai platform seperti TikTok dan Instagram. Karyawan muda sering membagikan cerita resign mereka secara terbuka, bahkan viral karena dianggap berani atau mewakili banyak orang yang merasakan hal serupa.
Menurut beberapa laporan, sekitar 1 dari 6 karyawan pernah melakukan aksi semacam ini. Bahkan lebih banyak lagi yang merasa revenge quitting bisa saja terjadi di lingkungan kerja mereka. Pada kasus ini, media sosial membuka ruang untuk curhat, kritik, dan saling memberikan dukungan.
Penyebab Umum Revenge Quitting

Fenomena revenge quitting biasanya tidak muncul tanpa alasan. Ada pemicu-pemicu tertentu yang membuat seseorang merasa cukup sudah dan memutuskan resign secara tiba-tiba. Berikut beberapa penyebab umum yang sering terjadi di lingkungan kerja saat ini menurut DDI World:
1. Burnout dan Tidak Seimbangnya Hidup dan Kerja
Tekanan kerja yang berlebihan, terutama di era digital dan sistem remote work, membuat batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi jadi kabur. Gen Z sangat menghargai work-life balance, sehingga ketika waktu istirahat terus terganggu, mereka merasa kelelahan fisik dan emosional.
2. Tidak Ada Apresiasi atau Pengakuan
Merasa tidak dihargai atas kerja keras adalah pengalaman yang menyakitkan. Ketika kontribusi kamu tidak pernah diakui, baik dalam bentuk ucapan, insentif, atau promosi, perlahan motivasi pun hilang.
3. Karier yang Terasa Mandek
Minimnya peluang pengembangan membuat banyak karyawan merasa stuck. Saat kamu tidak melihat arah karier yang jelas, rasa jenuh akan tumbuh dan semangat bekerja bisa menurun drastis.
4. Lingkungan Kerja yang Tidak Sehat
Hubungan buruk dengan atasan, komunikasi yang tidak transparan, dan manajemen yang pilih kasih bisa membuat lingkungan kerja menjadi tidak nyaman. Situasi seperti ini bukan hanya melelahkan, tapi juga menguras mental
Apa Dampak Revenge Quitting Bagi Perusahaan?

Keluarnya karyawan secara mendadak bukan hanya soal kehilangan satu individu. Ada beberapa konsekuensi besar yang bisa ditimbulkan, seperti:
1. Biaya Penggantian yang Mahal
Mencari dan melatih pengganti dalam waktu singkat akan menambah beban biaya dan waktu.
2. Turunnya Produktivitas Tim
Tugas-tugas yang belum terselesaikan akan tertunda atau dialihkan ke tim lain, mengganggu alur kerja secara keseluruhan.
3. Reputasi Bisa Tercoreng
Jika pengunduran diri dibagikan secara publik, perusahaan bisa mendapatkan sentimen negatif dari publik atau calon pelamar kerja.
4. Menurunnya Semangat Kerja Karyawan Lain
Karyawan yang masih bertahan mungkin merasa tidak aman atau terbebani tugas tambahan, yang bisa berdampak pada motivasi mereka.
Bagaimana Mencegah Revenge Quitting?

Perusahaan tidak bisa sepenuhnya mengontrol keputusan individu, tetapi bisa mengurangi risikonya dengan beberapa langkah berikut:
1. Bangun Komunikasi yang Terbuka
Ajak karyawan berbicara dan libatkan mereka dalam pengambilan keputusan. Dengarkan keluhan mereka sebelum terlambat.
2. Berikan Pengakuan Secara Rutin
Menghargai setiap pencapaian, sekecil apa pun, bisa memberikan dampak besar terhadap loyalitas.
3. Tawarkan Jalur Pengembangan yang Jelas
Karyawan perlu tahu bahwa mereka bisa tumbuh. Tawarkan pelatihan, mentoring, dan jalur karier yang transparan.
4. Ciptakan Lingkungan Kerja yang Inklusif dan Aman
Budaya kerja yang suportif dan terbuka akan membuat karyawan merasa dihargai dan nyaman untuk tetap bertahan.
Revenge quitting adalah respons keras dari karyawan yang merasa tidak didengar, tidak dihargai, atau tidak memiliki masa depan di tempat kerja mereka. Fenomena ini jadi sinyal kuat bahwa perusahaan perlu berubah dan lebih adaptif terhadap kebutuhan generasi baru, khususnya Gen Z yang kini mulai mendominasi angkatan kerja.
Menciptakan budaya kerja yang transparan, mendukung pertumbuhan, dan peduli pada kesejahteraan karyawan bukan hanya langkah pencegahan. Ini juga jadi bentuk investasi untuk menjaga talenta tetap bertahan dan berkembang bersama perusahaan.(Sumber)