News  

Berakhirnya Pengawas Haji Independen

Evaluasi penyelenggaraan haji 1440 H/2019 baru saja selesai dan untuk pertama kali kembali tanpa kerja-kerja investigatif Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) seperti enam tahun terakhir.

Sebelum ini, tidak lama setelah musim haji berakhir KPHI merilis hasil pengawasan berdasarkan pengukuran yang ditetapkan disertai rekomendasi dan saran tindak lanjut kepada para pihak terkait. Sebagian rekomendasi dan saran tindak lanjut dilaksanakan penyelenggara haji sebagai bagian dari perbaikan pada tahun berikutnya.

Lalu mengapa KPHI harus berakhir? Bukankah selama enam tahun bekerja, pihak penyelenggara mendapatkan mitra konstruktif karena KPHI diberi amanat strategis menjaga kualitas prima pelayanan haji agar jemaah terlayani dengan sebaik baiknya sehingga dapat berkonsentrasi ibadah dalam rangka meraih haji mabrur? Siapa kemudian yang mengawasi perhelatan besar setiap tahun ini?

Setelah Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) disahkan pada 28 Maret 2019 sebagai revisi terhadap UU 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, pengawasan dalam penyelenggaraan ibadah haji dikembalikan ke internal Kementerian Agama bersama pengawas eksternal dari DPR, DPD, dan BPK.

Publik tentu saja belum dapat mengambil kesimpulan mana yang lebih baik antara pengawasan oleh lembaga independen yang dibentuk secara khusus untuk bekerja mengawal penyelenggaraan haji seperti KPHI, atau demi efisiensi dan efektivitas pengawasan cukup diserahkan pada fungsi inspektorat kementerian dan lembaga wakil rakyat seperti DPR-DPD dan Lembaga negara seperti BPK.

Meski demikian, berdasarkan pengalaman sebelumnya dan mengacu pada manajemen pengawasan pelayanan umum yang prima, lazimnya antara lembaga pengawas dan yang diawasi merupakan dua lembaga yang berbeda.

Pengawasan internal dapat dilaksanakan dalam hal penjaminan standarisasi dan pengendalian mutu pelayanan sedangkan penilaian atau evaluasi hanya efektif dan akurat jika dilakukan pihak atau institusi independen. Adapun pengawasan lembaga wakil rakyat yang tugasnya tidak semata-mata hanya pengawasan haji, umumnya hanya menghasilkan “kesan” sepintas. Hal ini sudah terjadi sebelum dibentuk KPHI.

Mereka diberangkatkan menjelang hari pelaksanaan sekaligus melaksanakan ibadah haji. Oleh karena tidak menghasilkan detail “outcome” mendalam yang berdampak pada perbaikan, kecuali kesimpulan sementara oleh masing-masing individu, maka dari kenyataan tersebut kemudian dibentuk KPHI yang bertugas per tiga tahun secara periodik. Semula, komisi ini dibentuk untuk mengurai malservice dan maladministrasi dalam penyelenggaraan haji yang setiap musim dikeluhkan.

Keluhan itu banyak disampaikan secara terbuka melalui saluran-saluran publik baik resmi maupun yang liar. Untuk memastikan kebenaran suara-suara masyarakat tersebut, Ombudsman RI melakukan penelitian sebelum KPHI diaktifkan dan hasilnya jelas menyatakan terjadi malservice dan maladministrasi di banyak sektor.

Hal itu dapat ditelusuri dari proses pendaftaran hingga kembali ke rumah dari Tanah Suci. Tindak lanjut temuan tersebut mempercepat desakan adanya lembaga pengawas haji yang secara khusus bertugas, bukan panitia, bukan tim pemantau ad hoc seperti sebelumnya, sehingga muncul gagasan melahirkan KPHI.

Untuk membentuk komisi ini diperlukan perjuangan panjang sejak Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Haji disahkan hingga akhirnya KPHI lahir berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan haji dan umrah.

Butuh waktu jeda 9 tahun untuk melahirkan UU baru, dua tahun kemudian baru ditindaklanjuti melalui Perpres nomer 28 tahun 2010, dan tiga tahun berikutnya baru direalisasi melalui SK Presiden pada Februari 2013 dan baru dilantik pada 26 Maret 2013. Benar-benar jalan panjang berliku untuk menghadirkan KPHI atau sekitar 5 tahun sejak dasar hukumnya disahkan.

Saat dilahirkan, KPHI merupakan hadiah besar bagi jemaah haji setelah kemerdekaan karena sejak Misi Haji pertama pada 1947 yang dipimpin KRH Moh. Adnan hingga 1999, penyelenggaraan haji berlangsung tanpa pengawasan, baik resmi dari lembaga negara apalagi dari masyarakat sipil.

Sampai 1999, Indonesia baru sebatas membentuk panitia “pemantau” haji oleh penyelenggara haji sendiri, yaitu Departemen Agama (sebelum berubah menjadi Kementerian). Kerja-kerja pemantauan haji tidak terdengar hasilnya, bahkan laporan terpublikasi yang dapat diakses publik pun tidak banyak ditemui.

Mengapa negara berpenduduk mayoritas muslim yang setiap tahun mengirim jemaah haji terbesar ke Tanah Suci ini tidak serius memperkuat lembaga pengawas pelayanan haji? Pertama, sejak awal Kemerdekaan, Indonesia tidak memiliki undang-undang penyelenggaraan haji yang menjamin pengawasan karena saat itu perhajian hanya diatur dalam peraturan pemerintah, keputusan presiden dan keputusan menteri.

Misalnya Surat Kementerian Agama RIS No. 3170 Tahun 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama RIS No. A. III/I/648 Tahun 1950 yang menunjuk Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia sebagai lembaga yang sah mengurus haji. Dalam payung hukum pada era Presiden Soekarno, tidak ditemukan pasal yang secara khusus mengatur pengawasan penyelenggaraan pelayanan haji karena pemerintah konsentrasi pada aturan pelaksanaan penyelenggaraan saja.

Kedua, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, penyelenggara haji diserahkan pada Departemen Agama yang ketentuannya diatur melalui Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Pada masa ini juga tidak menyertakan pengawasan penyelenggaraan pelayanan ibadah haji.

Urusan haji baru diatur dalam sebuah undang-undang dengan diberlakukan UU 17/1999; ini pun tidak membahas peran pengawasan meski sejak itu Panitia Penyelenggara Ibadah Haji yang dibentuk Kementerian Agama diantaranya juga membentuk Tim Pengawas Haji Indonesia (TPHI) dari kalangan internal kementerian.

Ini tercatat sebagai kemajuan setapak meski tidak mencukupi karena tidak memenuhi indikator independensi lembaga pengawas. Adapun pengawasan internal yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kemenag dan badan eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menyasar aspek pelayanan karena fokus pada penggunaan anggaran.

Ketiga, sejak diberlakukan UU 17/1999, ada pengawas dadakan bentukan DPR dari Komisi V (Transportasi), Komisi VIII (Pelaksanaan Umum) dan Komisi IX (Kesehatan). Namun, hasil pengawasan tim ini yang benar-benar tidak dapat dikatakan berkualitas standar pengawasan komprehensif selain opini dan kesan pribadi. Tim lebih mirip melakukan pengawasan “seolah-olah” karena baru bekerja ketika sampai di Tanah Suci ‘sambil berhaji’, atau berangkat sebagai pejabat negara.

Pengawasan haji mulai menemukan bentuknya sejak 2013 ketika lembaga independen bernama KPHI mulai bekerja. Pembentukan KPHI adalah langkah awal pengawasan profesional karena independensi dan tanggung jawabnya langsung kepada Presiden sebagaimana Menteri Agama yang memimpin penyelenggara haji.

KPHI sebagai lembaga independen bekerja secara terukur melakukan pengawasan proses perhajian dari hulu sampai hilir. Temuan KPHI merupakan daftar masalah resmi yang dikompilasi, dianalisis, disimpulkan kemudian dibuatkan rekomendasi dan saran tindak lanjut.

Di luar itu sesungguhnya masih banyak masalah yang dialami dan disampaikan masyarakat melalui sejumlah saluran publik. Dengan adanya KPHI, sebagian masalah tersebut terkanalisasi secara resmi dan diupayakan solusinya secara sistematis dan terstruktur. Rekomendasi dan saran tindak lanjut KPHI disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang dan sebagian pada tahun berikutnya sudah menjadi keputusan atau kebijakan bagi penyelenggara.

Tetapi mengapa KPHI diakhiri? Jawaban paling benar sementara adalah karena dalam pasal 129 UU Nomor 8 tahun 2019 tentang PIHU menyebutkan bahwa dengan disahkannya UU tersebut, KPHI bubar dan fungsi pengawasan dikembalikan kepada Menteri. Setelah tujuh komisioner KPHI tidak lagi bertugas (dua wafat) tidak kurang 60 anggota DPR berangkat ke tanah suci sebagai pengawas dadakan.

Apakah standar dalam asas-asas pelayanan umum sebagaimana diatur dalam UU 37/ 2008 dan prinsip pelayanan prima dalam UU 25/2009 tentang pelayanan publik terhadap 231 ribu jemaah haji masih dapat ditegakkan?

Pelaksanaan UU Nomor 8 tahun 2019 musim haji ini baru diberlakukan, pengawasan internal dan eksternal DPR dan DPD yang baru saja berganti, apakah menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi bahkan saran tindak lanjut yang konstruktif berfaedah? Ada baiknya mari kita tunggu hasilnya.

Mahrus Ali, pemerhati kebijakan publik dan Pengurus Pusat Ikatan Persaudarana Haji Indonesia