Hasbiallah Ilyas Kritik Putusan MK Soal Pemilu: Jangan 500 Anggota DPR Kalah Dari 9 Hakim

Anggota Komisi III dari Fraksi PKB, Hasbiallah Ilyas, mengkritik sikap Mahkamah Konstitusi yang menurutnya terlalu sering mengubah aturan pemilu.

Padahal, aturan pemilu telah dirumuskan dalam Undang-Undang oleh DPR.

“Kita sepakat dengan kawan kita dari Fraksi Nasdem. Jangan 500 orang (580 anggota DPR) ini, Pak, kalah dengan 9 hakim. Ini bikin undang-undang KUHAP saja sudah berapa lama kita belum selesai sampai hari ini. Tolong agak lebih bijaklah,” kata Hasbiallah dalam rapat bersama MK, MA, dan KY pada Rabu (9/7/2025).

“Misalnya pemilu, berapa kali setiap pemilu itu diubah. Dari tahun 2009 diubah, sekarang diubah lagi, ini yang bikin jadi kegaduhan di masyarakat,” sambungnya.

Hasbiallah lantas mendorong agar proses seleksi calon hakim MK pada masa mendatang dilakukan lebih ketat.

“Menurut saya perlu diseleksi lebih optimal lagi, jangan sampai adanya MK ini keluar dari norma yang ada,” jelasnya.

MK mendapat kritik dari beberapa anggota DPR dalam rapat itu. Termasuk oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI Dede Indra Permana Soediro yang mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya.

“Sedikit masukan juga kepada MK bahwa sesuai dengan tugas yang sudah ada, bahwa MK adalah penguji norma, bukan membentuk (norma),” ujar Dede.

Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Rudianto Lallo menilai MK kerap membuat putusan yang justru menabrak konstitusi dan menimbulkan polemik di masyarakat.

“MK ini kemudian yang paling banyak didiskusikan hari ini karena ada putusan kontroversi soal pengujian UU. Ya tentu kita berharap MK menjadi penjaga konstitusi kita. Mudah-mudahan tidak ada lagi putusan-putusan yang menjadi polemik di masyarakat,” ujar Rudianto di Gedung DPR RI.

Dia mengingatkan bahwa proses legislasi di DPR memakan waktu panjang dan mendengar aspirasi publik.

Namun, putusan MK kerap mengubah secara drastis hasil kerja tersebut.

“Kalau tiba-tiba satu pasal dianggap bertentangan tetapi justru amar putusan MK ini bertentangan, ini juga problem konstitusi kita. Nah ini deadlock jadinya,” kata Rudianto.

Sementara itu, Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Andi Muzakir menyoroti tidak konsistennya MK dalam mengeluarkan putusan, khususnya terkait pemilu.

“Saya hanya satu, Pak, konsisten dalam mengambil keputusan. Jangan setiap periode berubah lagi putusannya. Jadi tidak ada konsistensi dalam mengambil putusan. Tahun ini serempak, berikutnya dipisah. Tidak ada konsistensi. Mau dibawa ke mana negara ini?” kata Andi.

Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.

Dalam pertimbangan hukum, MK mengusulkan agar pemilihan legislatif (Pileg) DPRD yang bersamaan dengan pilkada digelar paling cepat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden, atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden/wakil presiden.(Sumber)