Munas Golkar, Antara Aklamasi dan Ancaman Perpecahan

Jajaran Elit Politik Partai Golkar

Partai Golkar telah merampungkan rapat pimpinan nasional (rapimnas) yang digelar pada Kamis (14/11). Jadwal munas telah ditetapkan pada awal Desember, namun muncul kekhawatiran terkait proses pemilihan ketua umum Golkar.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar Lodewijk F Paulus mengungkapkan, sejumlah kesepakatan dalam rapat pimpinan nasional (rapimnas) yang digelar Kamis (14/11). Salah satunya terkait dengan penetapan jadwal munas.

“Tadi kita juga sepakat waktu dan tempat untuk munas, tadi disepakati munas akan dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 3, 4, 5, 6 Desember nanti,” kata Lodewijk.

Dalam rapimnas yang digelar di kawasan Mega Kuningan tersebut, para kader juga mendengarkan arahan dari para senior Partai Golkar. Mereka adalah Ketua Dewan Pembina, Aburizal Bakrie, Wakil Ketua Dewan Kehormatan, Akbar Tanjung, dan Ketua Dewan Pakar, Agung Laksono.

“Inti dari ketiga dewan pakar ini yaitu mereka inginkan bahwa Golkar tetap solid ya,” ujarnya.

Selain itu, Lodewijk juga mengungkapkan, dalam pengarahannya para senior berharap pelaksanaan munas  dibangun dengan semangat mufakat musyawarah. Tidak hanya itu, para senior juga mengharapkan keterlibatan kaum milenial baik dalam struktur maupun organisasi.

“Insya allah kalau munas selesai pasti akan ada tim yang godog itu, kedua kita juga harus siapkan kader milenial untuk jadi pimpinan nasional nanti, itu harus kita godog dan lihat mereka diberi kesempatan, tanggungjawab sehingga betul betul siap untuk nanti jadi calon pimpinan bangsa,” ungkapnya.

Salah satu isu yang mencuat jelang munas adalah mekanisme pemilihan ketua umum. Salah satu figur yang disebut-sebut sebagai bakal ikut dalam bursa calon ketua umum, Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyoroti peluang terjadinya aklamasi.

Bamsoet mengingatkan, bahwa aklamasi pernah memunculkan perpecahan di tubuh Partai Golkar. “Kita punya pengalaman pahit, pemaksaan aklamasi itu membuat kita pecah dan kita pernah pecah ada Ancol dan Bali, Bali itu kan pemaksaan aklamasi yang melahirkan Ancol,” kata Bamsoet.

Bamsoet mengajak agar peristiwa tersebut menjadi bahan perenungan bagi seluruh kader Partai Golkar. Bamsoet menganggap, jika merasa didukung oleh mayoritas pemilik suara mengapa harus takut dan kemudian merancang aklamasi.

“Pasti demokrasi dan menang itu akan tercapai melalui pertarungan di munas,” ujarnya.

Kendati demikian, Bamsoet meyakini pada munas nanti tidak akan terjadi aklamasi. Pasalnya, sejumlah nama seperti Ridwan Hasjim, Indra Bambag Utoyo diketahui akan maju dalam munas mendatang.

Bamsoet sendiri digadang-gadang juga akan maju, namun ia mengungkapkan bahwa dirinya belum memutuskan. “Belum memutuskan bukan berarti saya tidak maju, kita lihat perkembangan ke depan,” tutur ketua MPR tersebut.

Berbeda dengan Bamsoet, Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) menginginkan agar munas berlangsung secara musyawarah-mufakat. Menurutnya, hal itu lebih baik daripada voting untuk memilih ketua umum.

“Jadi kalau calonnya ada beberapa, kan kalau bermusyawarah kan baik. Tenaga kan bisa disimpan untuk berkompetisi dengan pihak lain, paling baik musyawarah mufakat,” kata Ical usai menghadiri pembukaan Rapimnas Golkar di Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, Kamis (14/11).

Ical menyebut, musyawarah tersebut perlu dilakukan untuk bersama-sama berunding menentukan arah perjalanan Partai Golkar ke depan. Ical enggan menjawab saat ditanya siapa calon ketua umum yang ia jagokan. Namun, ia berharap, yang menang harus merangkul yang lain.

“Karena itu akan jadi kekuatan di Partai Golkar, targetnya 2024 Golkar harus menang dan harus bisa mencalonkan presiden atau wapres dari kader Golkar,” ucapnya.

Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Aburizal Bakrie ingin semua calon ketua umum partai bisa musyawarah mufakat atau aklamasi pada munas untuk menyatukan kekuatan. Namun, Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus memiliki pendapat berbeda.

Pengamat politik dari Univeristas Padjajaran Yusa Djuyandi menilai, musyawarah-mufakat akan sulit tercapai dalam Munas Golkar. Yusa merujuk pada situasi Golkar saat ini.

“Aklamasi itu baik jika memang seluruh peserta menerimanya. Tetapi jika kubu Bamsoet menilai buruk maka akan sulit mencapai aklamasi,” ujar Yusa, Jumat (15/11).

Selain itu, jika aklamasi ini dipaksakan terjadi, itu akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Salah satunya terjadi perpecahan di Partai Golkar, seperti yang pernah terjadi antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.

“Hanya dalam aklamasi biasanya semua pihak atau kubu perlu diakomodir kepentingannya. Tergantung apa yang mau ditawarkan kepada kelompok lain,” ujar Yusa.

Maka dari itu, diperlukan satu kesepahaman antara semua kubu untuk mencapai musyawarah mufakat. Guna menghindari masalah untuk Partai Golkar di kemudian hari.

“Seandainya aklamasi sudah disepakati maka perlu ada konsistensi pelaksanaan hasil kesepakatan. Jika tidak, akan ada ketidakpuasan,” ujar Yusa.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang disebut-sebut akan kembali maju dalam bursa pencalonan dalam munas berharap, pemilihan ketua umum mengedepankan asas musyawarah.

Airlangga mengklaim, asas tersebut senada dengan apa yang kini diupayakan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo, yaitu mengedepankan semangat musyawarah.

“Besar harapan saya bahwa dalam munas asas yang dikedepankan adalah tentu demokratis dengan musyawarah mufakat,” kata Airlangga dalam sambutannya membuka Rapimnas Golkar, Kamis (14/11).

Apalagi, imbuhnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa hari lalu berpesan agar kader Golkar tidak saling sikut-sikutan. Menko Perekonomian itu berpesan kepada seluruh kader Golkar untuk sama-sama menjaga Munas Golkar.

“Mari kita jaga partai kita, karena partai kita sangat disegani oleh kawan-kawan yang lain,” ujarnya. {republika}