News  

2 Pulau Di Sumsel Tenggelam, WALHI: 4 Pulau Lain Segera Menyusul

Ilustrasi Pulau Tenggelam

Perubahan iklim ekstrem yang sedang terjadi di Dunia khususnya di Indonesia. Hal tersebut membuat dua pulau kecil di Sumatera-Selatan telah lenyap akibat dari naiknya permukaan laut.

Bahkan sudah 4 pulau lainnya sudah hampir punah, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang dikutip dari laman The Star.

Dua pulau yang telah tenggelam tersebut adalah Pulau Betet dan Pulau Gundul yang secara teknis masuk pada Kabupaten Banyuasin.

Menurut Walhi, kedua pulau tersebut telah tenggelam diprakirakan 1 meter dan 3 meter di bawah permukaan laut.

“Pulau-pulau tak berpenghuni. Salah satu Pulau Betet adalah bagian dari Taman Nasional Barbak-Sembilang,” ujar direktur eksekutif Walhi Sumatera-Selatan Hairul Sobri, pada Selasa 14 Januari 2020.

Menurutnya jika tidak ada upaya yang signifikan untuk mengatasi air laut yang terus meningkat.

Maka empat pulau di daerah Sumatera dengan ketinggian kurang dari 4 meter di atas permukaan laut dapat ikut menghilang cepat atau lambat.

Hairul juga mengungkapkan 4 pulau yang cepat atau lambat akan tenggelam jika tidak cepat diatasi.

Keempat pulau tersebut adalah Pulau Burung yang saat ini ketinggiannya hampir sama dengan permukaan laut.

Lalu ada pula Pulau Kalong dan Pulau Salah Namo, kedua pulau ini memiliki ketinggian 2 meter di atas permukaan laut. Pulau terakhir adalah pulau Kramat yang berada tiga meter di atas permukaan laut.

Walhi mengatakan, bahwa saat ini ada 23 pulau kecil yang terletak di lepas pantai timur Banyuasin, Sumatera Selatan.

Dari keempat pulau tersebut satu diantaranya memiliki penghuni didalamnya yaitu Pulau Salah Namo. Peningkatan permukaan laut ini didorong oleh perubahan iklim, akibat dari pemanasan global.

Dengan perubahan iklim tersebut menjadi ancaman bagi Indonesia yang terdiri dari banyak kepulauan di mana jutaan orang saat ini tinggal di daerah pantai dataran rendah yang tersebar di sekitar 17.000 pulau.

Kepala Unit Lingkungan di Pulau Salah Namo, Syahrul, mengatakan bahwa mereka sudah tahu bahwa permukaan laut yang naik dapat menenggelamkan pulau mereka.

Saat ini orang-orang yang tinggal di pulau itu telah memindahkan rumah mereka puluhan meter dari posisi awal rumah mereka sebelumnya.

Syahrul juga mengatakan bahwa sebagian besar penduduk pindah ke pulau itu pada tahun 1970 untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dengan menanam padi dan menjadi nelayan.

Bahkan pada tahun 1990 ada ladang besar di depan rumah-rumah mereka dan dijadikan tempat berolahraga serta tempat bermain anak-anak, namun sekarang semuanya telah berubah.

“Tidak ada lapangan di depan rumah kita. Banyak orang yang pindah dari sini,” kata Syahrul.

Di waktu yang berbeda Kepala Nasional Berbak-Sembilang Area II, Affan Absori, ia mengatakan bahwa Pulau Betet telah tenggelam dan pulau tersebut telah mengalami tenggelam selama beberapa waktu.

Taman Nasional Berbak-Sembilang, dinyatakan sebagai cagar Biosfer dunia pada tahun 2018 oleh UNESCO.

Taman nasional ini merupakan rumah bagi kawasan hutan bakau serta kaya akan flora dan fauna, termasuk Harimau Sumatera dan burung Pekakak.

“Itu telah tenggelam karena level segel telah naik dan karena tsunami. Tetapi tidak ada gangguan yang signifikan bagi hewan-hewan di taman nasional,” ujar Affan.

Menurut Walhi, negara tropis seperti Indonesia lebih rentan terhadap efek pemanasan global, terutama di Sumatera-Selatan di mana orang banyak bergantung pada batu bara, minyak dan gas alam, sehingga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca.

Faktor lain yang menyebabkan tenggelamnya pulau adalah ketergantungan masyarakat terhadap pupuk kimia di sektor pertanian, yang menyebabkan penurunan tanah dan kerusakan cekungan drainase, serta ekstrasi air tanah yang berlebihan untuk industri.

Meskipun Sumatera-Selatan memiliki 1,2 juta hektar lahan gambut yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami dan menyerap CO2 dari atmosfer.

Akibat kebakaran hutan, konversi lahan, kegiatan pembangunan sekitar 15 persen dari luas lahan menjadi mengering dan rusak.

Badan Mitigasi Bencana Alam Sumatera Selatan telah mencatat bahwa dari 361.889 ha area yang terbakar yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun 2019, sekitar 60 persen terdiri dari ekosistem gambut. {pikiran rakyat}