News  

Melihat Kebijakan Lockdown Saat Wabah Di Era Khalifah Umar Bin Khattab

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang cara menimalisir penyebaran virus corona (covid-19). Salah satunya melarang umat Islam salat di berjamaah di masjid yang daerahnya tergolong parah terjangkit virus corona.

Menurut Ketua MUI Sumbar Gusrizal Gazahar, pelarangan salat berjamaah di dalam masjid terkait wabah penyakit menular, bukan hal baru terjadi di umat Islam. Kebijakan tersebut pernah terjadi di zaman para sahabat Rasullullah SAW.

“Saya mau katakan, berkali-kali masjid ditutup dalam sejarah Islam karena wabah,” katanya di Auditorium Gubernuran Sumbar, Senin (23/3/2020).

Dia menyayangkan peryataan bahwa fatma MUI menjauhkan umat Islam dari masjid. Ada juga yang mengklaim masjid tidak pernah ditutup dalam sejarah Islam. Bahkan yang mengatakan itu juga dari kalangan ulama atau ustaz sendiri.

Dia mengisahkan salah satu kebijakan penutupan masjid pernah terjadi tahun 18 Hijriah atau di masa kepemimpinan kalifah ke dua, Umar bin Khattab. Kala itu, terjadi serangan wabah yang paling berat dalam sejarah umat Islam. “Riwayat itu mashur dan sahih, ada dalam kitab-kitab sahih,” katanya.

Saat itu, Umar bin Khattab membatalkan niatnya masuk ke daerah Syam yang terserang wabah. Keputusan itu diambil setelah mengadakan dialog dan musyawarah bersama panglima pasukannya, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Dialog itu berlangsung di daerah Syargh, jelang masuk ke daerah Syam.

Pusat wabah itu ada di kampung kecil bernama Amawas. Dalam sejarah Islam, nama tempat wabah penyakit era Umar bin Khattab dikenal dengan Thaun Amawas atau wabah Amawas.

Kampung itu terletak antara daerah Ramallah dengan Baitul Maqdis. Wabah itu menewaskan puluhan ribu orang, termasuk para sahabat Rasulullah SAW.

“Jadi jangan ada pula yang berkata bahwa iman kita kuat, apakah iman Umar bin Khattab lemah? Lalu ada yang bilang kita tolak dengan zikir, apakah zikir Abu Ubaidah tidak diterima?.

Gusrizal mengatakan banyak sahabat Rasulullah SAW yang turut meninggal dalam wabah itu. Di antaranya, Muaz bin Jabal, Suhail bin Amr, Syurahbil bin Hasanah, Abu Jandal bin Suhail dan puluhab sahabat lainnya.

Termasuk dua gubernur Syams juga meninggal berturut-turut. Pertama Abu Ubaidah bin Jarrah yang diminta keluar dari Syams oleh Umar, namun dia tidak mau pergi menyelamatkan diri, lalu meninggal. Kemudian digantikan oleh Muaz bin Jabal sebagai gubernur dan ia juga meninggal terkena wabah.

“Mereka gugur, syahid kena wabah itu, yang ketiga diangkatlah oleh Umar bin Khattab sebagai gubernur Syams Amr bin Ash,” katanya.

Saat menjadi gubernur Syams, Amr bin Ash mencoba melakukan diagnosa terhadap penyebab dan penyebaran wabah. Amr mengatakan bahwa wabah seperti api yang berkobar dan selama masih ada kayu bakar, dia akan terus menyala. Selama masih ada orang yang sehat, ia akan terus menyebar.

Dia melihat solusi menghentikan wabah adalah dengan menyuruh penduduk sehat pergi menyingkir ke bukit-bukit. Kebijakan itu dinamakan isolasi atau lockdown saat ini.

“Akhirnya seluruh orang sehat pergi ke bukit-bukit dan tidak bercampur lagi dengan mereka yang terkena penyakit,” katanya.

Soal isolasi ini juga sudah diisyaratkan dalam hadis nabi, bahwa dilarang mencampurkan antara onta yang sehat dengan orang yang sakit. Orang-orang yang pergi ke bukit melakukan isolasi itu tidak pernah mempertanyakan bagaimana salat mereka dan jumat mereka bagaimana.

“Tidak ada yang menanyakan itu, mereka patuh saat disuruh menyingkir, akhirnya berhentilah wabah itu dengan cara demikian,” katanya.

Kisah lainnya pada suatu waktu, Rasulullah SAW pernah melarang orang yang akan masuk Madinah dari Bani Tsaqif yang berasal dari Taif. Salah satu orang yang akan datang menderita penyakit kusta.

Padahal, nabi biasanya bersalaman dengan orang-orang yang telah berbaiat kepadanya. Namun, berbeda untuk satu orang ini dan ia ditahan di luar Madinah.

“Nabi berpesan saja kepada temannya, katakan pada dia bahwa aku telah menerima baiatnya. Masa nabi takut pula? Jadi banyak kasus seperti ini,” katanya.

Dengan kisah tersebut, kata Gusrizal, fatwa melarang salat di masjid itu sudah benar dan tepat jika berada di daerah yang wabahnya dalam keadaan tidak terkendali lagi.

Namun untuk Sumbar saat ini, lanjut Gusrizal, belum termasuk daerah yang gawat. Pihaknya selalu memantau pernyataan Gubernur Sumbar. Jika Pemprov menyatakan daerah Sumbar sudah gawat, maka bisa saja ada fatwa khusus untuk Sumbar soal pelarangan mengadakan keramaian.

Buya juga menyayangkan adanya pihak yang terlalu percaya diri dengan keimanannya. Orang seperti itu mengatakan bahwa virus corona adalah ciptaan Allah SWT, sehingga tidak perlu ditakutkan. Bahkan yang berkata demikian ada dari orang medis.

“Capek juga saya menanggapi orang seperti itu, maka saya jawab saja, bapak saya kandangkan dengan harimau lalu silahkan salam salaman di dalamnnya, kan sama sama makhluk Tuhan,” katanya.

Dia mengingatkan tawakal bukan berarti berserah dan terima begitu saja. Paham seperti itu malah berbahaya karena jabariyah dan fatalistis. Paham itu tidak benar. Umat Islam harus melakukan ikhtiar untuk mengobati wabah. {teras}