News  

Komjen Listyo Prabowo Calon Kapolri Terkuat, Komjen Boy Rafli Amar Kuda Hitam

Meski diisukan terkait kasus Djoko Tjandra, Kabareskrim Listyo Prabowo tetap masuk 4 orang bursa Kapolri. Tiga orang lainnya adalah Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, Kabaharkam Komjen Agus Andrianto dan Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch ( IPW) Neta S. Pane menilai Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar sebagai salah satu kuda hitam dalam bursa calon Kapolri pengganti Jenderal (Pol) Idham Azis.

“Yang menjadi kuda hitam ini Boy Rafli,” kata Neta dalam program AIMAN yang ditayangkan KompasTV, Senin (30/11/2020).

Selain Boy, IPW melihat terdapat tiga komisaris jenderal (komjen) lainnya yang berpeluang kuat menggantikan Idham. Salah satunya adalah Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo.

Menurut Neta, nama Listyo tetap masuk dalam bursa calon kuat Kapolri meski sempat mendapat serangan telak.

Serangan yang dimaksud adalah ketika nama Listyo disebut oleh Irjen Napoleon Bonaparte, terdakwa kasus dugaan korupsi terkait kepengurusan red notice Djoko Tjandra, dalam persidangan.

Napoleon menyebut terdakwa Tommy Sumardi mengaku mengantongi restu Kabareskrim sebelum menemuinya. Keterangan itu telah dibantah oleh pihak Tommy Sumardi dan oleh Listyo sendiri.

“Saya melihat bahwa pengakuan Napoleon Bonaparte ini, ini bisa menghancurkan citra dia (Listyo) untuk masuk dalam bursa (Kapolri),” tuturnya.

“Bantahan itu hal yang wajar tapi ketika nama dia dibuka dalam kasus itu di persidangan, ini serangan yang telak,” sambungnya.

Selain itu, dua nama lainnya yakni Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono dan Kabaharkam Komjen Agus Andrianto. “Kalau nanti bintang dua tidak ada masuk menjadi bintang tiga, saya kira pertarungan ada di empat orang ini,” ucap Neta.

Tanggapan Listyo Prabowo

Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo sendiri sudah merespons klaim terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte, yang menyeret namanya dalam persidangan kasus dugaan penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Listyo menyayangkan sekelas Napoleon yang jenderal bintang dua, mudah saja percaya dengan pengakuan oknum-oknum yang menyeret-nyeret seseorang untuk kepentingan pribadinya.

Seharusnya, kata Listyo, Napoleon mengonfirmasi untuk mencari kebenaran terkait klaim oknum tersebut kepada dirinya. Pernyataan Napoleon sendiri juga tidak dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

“Kan dia jenderal bintang dua dan pejabat utama, seharusnya yang bersangkutan kroscek apakah betul TS (Tommy Sumardi) memang dapat restu dari saya.”

“Agak aneh kalau ada orang yang membawa nama kita, dan orang itu langsung percaya begitu saja kalau mereka dekat dan mewakili orang itu,” ujar Listyo kepada wartawan di Jakarta, Kamis (26/11/2020).

Menurut Sigit, pernyataan Napoleon dinilai hanya menyesatkan kebenaran yang ada. Seharunya, kata Listyo, yang bersangkutan fokus untuk menjawab substansi fakta-fakta konstruksi hukum yang ditemukan oleh penyidik Bareskrim Polri.

Tapi, hal itu tidak dilakukan oleh Napoleon.

“Pihak TS juga sudah membantah pengakuan dari NB. Kami meyakini majelis hakim pasti akan melihat fakta yang sesungguhnya, mana yang suatu kebenaran dan mana hal yang mengada-ada,” tutur Listyo.

Selain itu, kata Listyo, penghapusan red notice juga bukan kewenangan dari Bareskrim Polri, melainkan memang ranah dari Divisi Hubungan Internasional (Div Hubinter) Polri.

Napoleon sendiri menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri. “Bareskrim tidak punya kewenangan memerintah Kadiv Hubinter menghapus red notice.”

“Karena yang mengajukan red notice Kejaksaan, alasan yang tidak masuk akal pernyataan itu,” tegas Listyo.

Sejak awal, kata Sigit, Bareskrim menyatakan komitmennya untuk mengusut tuntas siapapun yang terlibat dalam perkara Djoko Tjandra tersebut.

“Siapapun yang terlibat kami usut tanpa pandang bulu. Kalau kita terlibat kan logikanya sederhana, tak mungkin kita usut sampai ke akar-akarnya,” beber Listyo.

Sebelumnya, Irjen Napoleon Bonaparte dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus pengurusan red notice Djoko Tjandra, dengan terdakwa Tommy Sumardi.

Dalam kesaksiannya, Napoleon ‘bernyanyi’ soal kedekatan Tommy Sumardi dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Listiyo Sigit dan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Awalnya, Napoleon bercerita soal kedatangan Tommy Sumardi dengan Brigjen Pol Prasetijo Utomo ke ruangannya di TMMC Polri, pada April 2020.

Saat itu, kata Napoleon, Prasetijo diminta keluar oleh Tommy dari ruangnnya. Di ruangan itu, tutur Napoleon, Tommy meminta kepadanya untuk menjelaskan status red notice Djoko Tjandra.

“Pada saat itu terdakwa menjelaskan maksud dan tujuan, untuk minta bantuan mengecek status red notice Djoko Tjandra. Lalu saya bertanya kepada terdakwa, saudara ini siapanya Djoko Tjandra? Lawyernya? Bukan.”

“Keluarga? Bukan. Saudara apa Djoko? Saya temannya, jawab terdakwa,” ucap Napoleon saat bersaksi di persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/11/2020).

Napoleon pun heran, Tommy Sumardi bisa membawa Prasetijo Utomo yang berpangkat brigjen. Tommy, tutur Napoleon, pun bercerita duduk perkaranya hingga bisa membawa Prasetijo bersamanya.

“Itu juga menjadi pertanyaan saya. Kok bisa ada orang umum membawa seorang brigjen pol untuk menemui saya, dan brigjen ini mau,” kata Napoleon.

Napoleon lanjut bercerita, Tommy ke tempat Napoleon bersama Brigjen Prasetijo sudah atas restu Kabareskrim Polri Listyo Sigit. Bahkan, kata Napoleon, saat itu Tommy menawarkan diri untuk menelepon Kabareksrim.

“Lalu dia bercerita, terdakwa yang mengatakan, ini bukan bahasa saya, tapi bahasa terdakwa pada saya. Menceritakan kedekatan beliau, bahwa ke tempat saya iini sudah atas restu Kabareskrim Polri. Apa perlu telepon beliau? Saya bilang tidak usah,” ujarnya.

Napoleon lanjut bercerita, dirinya sedikit yakin dengan cerita Tommy saat itu, lantaran Tommy bisa membawa orang sekelas Brigjen Prasetijo Utomo bersamanya.

“Saya bilang Kabareskrim itu junior saya, tidak perlu. Tapi saya yakin bahwa kalau seorang Brigjen Pol Prasetijo Utomo dari Bareskrim dibawa ke ruangan saya, ini pasti ada benarnya,” kata Napoleon.

Meski demikian, tutur Napoleon, dirinya masih sedikit tidak percaya dengan gerak-gerik Tommy saat itu. Tak lama setelah itu, lanjut Napoleon, Tommy pun menelepon seseorang.

Kali ini, ucap Napoleon, dia menelepon orang bernama Azis yang tak lain adalah Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Telepon Tommy pun diserahkan ke Napoleon.

“Terdakwa menelepon seseorang. Setelah sambung, terdakwa seperti ingin memberikan teleponnya pada saya. Saya bilang, siapa yang anda telepon mau disambungkan pada saya?”

“Terdakwa mengatakan Bang Azis, Azis siapa? Azis Syamsuddin. Oh, Wakil Ketua DPR RI? Ya. Karena dulu waktu masih pamen saya pernah mengenal beliau, jadi saya sambung, assalamualaikum, selamat siang Pak Azis, eh bang apa kabar. Baik,” bebernya.

Dalam pembicaraan antara Napoleon dan Azis, dirinya sempat meminta arahan terkait kedatangan Tommy Sumardi ke ruangannya.

“Ini di hadapan saya ada datang Pak Haji Tommy Sumardi, dengan maksud tujuan ingin mengecek status red notice. Mohon petunjuk dan arahan, pak. Silakan saja, Pak Napoleon. Baik. Kemudian telepon ditutup, saya serahkan kembali.”

“Menggunakan nomor HP terdakwa,” tutur Napoleon sembari menirukan perbincangan tersebut.

Dalam pertemuan itu, lanjur Napoleon, Tommy Sumardi juga bercerita banyak soal kedekatannya dengan Kabareskrim Listyo Sigit.

“Beliau banyak menceritakan saya tentang kedekatannya dengan Kabareskrim. Termasuk bagaimana menjadi koordinator 6 dapur umum.”

“Jadi saya lebih mafhum. Kalau ingin mengecek status red notice saya tidak punya posisi yang kuat. Pengecekan hanya bisa dilakukan atas hak asasi subjek red notice,” paparnya.

Dalam sidang ini duduk sebagai terdakwa adalah Tommy Sumardi. Tommy merupakan pengusaha yang membantu mengurus status buron yang melekat pada Djoko Tjandra.

Caranya, dengan menjanjikan uang atau hadiah kepada penyelenggara negara, dalam hal ini adalah pejabat tinggi di Polri.

Tommy sekaligus menjadi perantara Djoko Tjandra untuk memberikan uang 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS kepada Irjen Pol Napoleon Bonaparte.

Serta, 150 ribu dolar AS kepada Brigjen Prasetijo Utomo

Data 4 Calon Kapolri

1. Wakapolri Gatot Edi (Akpol 88 A, lahir 28 Juni 65, masa dinas 30 bulan lagi, dan pernah menjadi Kapolda Metro Jaya).

2. Kabareskrim Sigit Listyo (Akpol 91, lahir 5 Mei 69, masa dinas 78 bulan lagi, dan pernah menjadi Kapolda Banten). Muncul kontroversial terhadap keberadaannya, di antaranya masa pensiun yg masih cukup lama, yakni hingga Mei 2027.

3. Kabaharkam Agus Andriyanto (Akpol 89, lahir 16 Feb 67, pernah menjadi Kapolda Sumut).

4. Kepala BNPT Boy Rafli (Akpol 88 B, lahir 25 Maret 1965, pernah menjadi Kapolda Banten dan Kapolda Papua). {tribun}