Drama Jenderal Kudeta Mayor di Demokrat, Bakal Seperti Kudeta di Mesir Atau Turki?

Sejak awal tahun 2021 bangsa ini disuguhi drama menarik oleh kader-kader Partai Demokrat yang saling adu strategi untuk memperoleh dan atau mempertahankan posisi dan jabatan tertinggi di partai berlambang bintang mercy itu.

Setelah publik selesai disibukkan dengan Pilkada 2020 yang anti klimaks, yang sukses menghantarkan anak dan menantu Presiden Jokowi menjadi Walikota Solo dan Walikota Medan, tiba-tiba AHY sang Ketum Partai Demokrat mengumumkan dan membuat surat ke Presiden kalau ada oknum di lingkaran Istana yang sedang menyusun Kudeta untuk menendang AHY dari kursi Ketua Umum. Konferensi pers AHY tentang hal ini langsung menarik perhatian publik maupun para pengamat politik.

Publik pun terkejut dan bertanya-tanya ada apa? Karena Partai Demokrat yang adem ayem tiba-tiba bergejolak dari dalam.

AHY sebagau dikenal pribadi yang terkendali dan terukur dalam bersikap maupun berbicara, seperti sang bapaknya SBY yang merupakan presiden RI ke-6, yang dikenal penuh kehati-hatian bahkan sampai disebut peragu, setiap langkahnya terkesan membaca teks book bahkan ketika pidato tanpa teks pun demikian…

Nah, AHY bukan orang yang mudah meledak-ledak dan mengumbar emosi ataupun ancaman seperti politisi lain layaknya Ngabalin dari Partai Golkar, apalagi Ahok dari partai PDIP yang terkesan ngomong duluan PIKIR KERI…

Politisi seperti itu tiba-tiba mengarahkan tudingan ke Istana tentu bukan asal jeplak… dan entah kenapa publik langsung mengarahkan tebakannya ke Jendral Purnawiran Moeldoko yang juga sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) sebagai oknum lingkaran istana tersebut.

Walaupun terakhir hanya berpangkat Mayor, AHY tentu tahu resiko jika peluru yang ditembakkan meleset maka ini bisa jadi bumerang untuk karir politik juga kredibilitas AHY bahkan SBY. Maka tudingan AHY bukan main-main.

Tangkisan tentu dilakukan oleh sang pensiunan Jendral, yang menyatakan kalau tidak ada rencana Kudeta tapi hanya sekedar ngopi-ngopi saja sambil dengerin curhatan para kader Partai Demokrat..

Bantahan Moeldoko disampaikan sendiri di depan awak media sebagai bantahan surat AHY kepada Presiden Jokowi yang menuduh ada tokoh di lingkaran istana yang terlibat dalam perencanaan kudeta di Partai Demokrat.

Walaupun lucu tapi publik menerima bantahan sang Jendral, publik pun maklum mereka juga paham, muka sang jendral dan tentu kewibawaan Istana harus tetap dijaga.

Tetapi publik dikejutkan lagi dengan langkah pengikut sang jendral yang dimotori para kader yang dipecat AHY ataupun mantan kader yang ingin AHY dan kroninya lengser, sungguh diluar dugaan Kudeta yang gagal ditengah jalan itu dipaksakan dilanjutkan dengan menggelar KLB Partai Demokrat di Deli Serdang… Dan tanpa ragu-ragu dan malu-malu menunjuk sang Jendral (purn) Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.

Ada mantan ketua DPR Marzuki Alie dan beberapa tokoh lainnya yang kemudian menduduki posisi penting di kepengurusan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang atau Demokratnya Moeldoko.

Publik disuguhi pula munculnya Nazaruddin yang ditengarai menalangi uang saku para peserta KLB, publik pun seperti diingatkan kembali dengan sosok mantan Bendahara partai Demokrat era Ketuanya Anas Urbaningrum yang sekaligus sosok dibalik tamatnya karir politik mantan ketua HMI tersebut dengan skandal korupsi. Juga hancurnya suara partai Demokrat di pemilu berikutnya.

“Jendral Kudeta Mayor” akhirnya bener-bener terjadi, AHY dicopot dari posisi Ketum, ibarat operasi Blitzkrieg (operasi super cepat dan kilat). Maka kudeta ini berhasil… walaupun sebelum KLB ada pernyataan jendral purnawirawan lain yang juga diajak kudeta tetapi menolak karena alasan kehormatan dan utang budi.

Tetapi AHY tentu tidak tinggal diam sang Mayor melakukan perlawanan, dia kumpulkan para ketua-ketua di daerah yang masih setia, istalah AHY adalah commander’s call bahkan 34 ketua DPD Provinsi mengucapkan janji setia di istana Cikeas.

Di antaranya, Wakil Gubernur Jawa Timur kemudian setelah mengorganisasikan pasukannya sang Mayor melakukan safari politik ke beberapa lembaga dan tokoh dengan tujuan mencari dukungan juga menunjukkan bahwa para perwira di Partai Demokrat masih setia kepada AHY…

Pengurus dan kader ditingkat kabupaten pun juga berbondong-bondong menunjukkan kesetiaannya diantaranya para ketua dan pengurus Partai Demokrat Solo Raya yang terdiri dari dari 7 kabupaten dan kota, ada juga Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya yang akan kirim santet ke Jendral (purn) Moeldoko.

Perlawanan AHY mulai membuahkan hasil tuntutan agar Moeldoko mundur dari KSP pun bermunculan baik dari barisan pendukung Jokowi ataupun AHY.. Jendral Moel pun terpojok bahkan ketika konferensi pers pengurus Partai Demokrat versi Moeldoko di rumah Moeldoko pun sang jendral tidak menampakkan batang hidungnya.

Apabila tuntutan ini dipenuhi maka Seperti pepatah jawa golek uceng kelangan deleg sang Jendral akan kehilangan jabatan sekaligus kehormatan dan kredibilitasnya yang dia bangun sejak menjadi prajurit.

Pertempuran masih berlangsung, publik masih menunggu bagaimana akhir dari perang ini?

Apakah seperti Kudeta di Mesir yang dilakukan Jendral Al-Sisi yang menumbangkan Presiden Mursi padahal sebelumnya Sisi diangkat Presiden Mursi menjadi Menteri Pertahanan yang mengepalai Angkatan Bersenjata Mesir, ataukah menjadi Kudeta di Turki yang justru menjadi momentum Presiden Erdogan menyatukan negerinya sekaligus menyingkirkan lawan-lawan politiknya di kepolisian maupun militer maupun pemerintahan….

Drama “Jendral Kudeta Mayor” sendiri mengingatkan kembali publik dengan kasus Cicak vs Buaya yang berakhir dengan tumbangnya Kabareskim Susno Duadji kala itu, atau kasus Gubernur Jawa Tengah vs Walikota Solo yang akhirnya menjadi momentum Jokowi menjadi Presiden RI dikemudian hari….

Walaupun ada yang menyebutkan bahwa kejadian ini karma untuk sikap SBY ketika terjadi kekisruhan antara almarhum Gus Dur vs Cak Imin di PKB, tapi apakah bener demikian? Mengingat yang terjadi di PKB kala itu ibarat perang saudara dan memang Cak Imin dan Gus Dur adalah satu trah pendiri NU, paman dan ponakan. Dan sama-sama orang PKB juga sama punya jabatan di partai kemudian terjadi konflik.

Belanda dalam konflik tiga negara antara Pangeran Mangkubumi (Hamengbuwono I), Pakubuwono III dan Mangkunegoro I, walaupun ikut bermain tetapi Belanda tidak menjadikan Gubernur Jendral Belanda jadi Raja, bahkan sejak zaman VOC tidak pernah ada gubernur jendral di Jawa yang menjadi raja jawa atau di wilayah nusantara lainnya walaupun VOC hampir menakklukkan semua raja-raja di Nusantara.

Dan layaknya drakor ataupun sinetron bangsa ini selalu simpatik dengan kaum yang nampak lemah…

Kita nikmati saja drama di Partai Demokrat ini sambil ngopi panas di musim hujan ini. Sambil menebak apakah KLB ini akan berakhir seperti Kudeta di Mesir atau Kudeta di Turki.

Sukoharjo, 14 Maret 2021
Muhammad Rodhi Mu’amari, d’Angkringan Geopolitik