News  

Rugi Rp.5,4 Triliun Sebab Harga Selalu Anjlok, Peternak Ayam Nasional Minta Tanggung Jawab Kementan

Sejak pertengahan 2018, harga ayam hidup/live bird (LB) jatuh dibawah harga pokok produksi (HPP) dan mengakibatkan ratusan ribu peternak ayam rakyat merugi.

Kerugian itu ditaksir hingga Rp5,4 triliun. Kondisi tersebut disebabkan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga ayam hidup yang selalu anjlok dari harga acuan.

Pemerintah juga dianggap membiarkan over supply ketersediaan ayam hidup sebesar 63.280.823 ekor ayam atau kelebihan 26,18% dari kebutuhan daging ayam nasional. (Data Kementan, 8 Maret 2021).

Terkait hal itu melalui kuasa hukum, peternak ayam rakyat mengirimkan Nota Keberatan kepada Kementerian Pertanian (Kementan) karena dianggap gagal menjalankan kebijakan, terlambat menjalankan kewajiban sesuai kewenangannya, keliru dalam menggunakan data, dan pelaksanaan kewenangan tanpa ada pengawasan.

“Persoalan utamanya adalah pemerintah gagal mengendalikan supply and demand (tata niaga) unggas sehingga terjadi over supply dan mengakibatkan harga di pasar hancur.

Karena itu, kami mengajukan keberatan dan berharap ada dialog dan komunikasi dengan pihak Kementan untuk menyelesaikan masalah ini,” kata kuasa hukum peternak ayam rakyat, Hermawanto saat menyerahkan somasi kepada Kementan RI, di Kementerian Pertanian, Senin (15/3/2021).

Hermawanto menjelaskan, kerugian tersebut berdasarkan perhitungan estimasi dari fakta harga jual ternak yang kerap dibawah harga terendah acuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 7 Tahun 2020, yakni Rp.19.000/kg.

Fakta tersebut didukung data Kementan yang menyebutkan produksi bibit anak ayam/Final Stock (FS) secara nasional 80.000.000 ekor/minggu. Dengan komposisi peternak rakyat yang hanya 20% dari produksi nasional. Diperkirakan rata-rata kerugian sekitar Rp2000/kg.

“Jatuhnya harga unggas live bird akibat over supply, ditambah pula tingginya harga sapronak (sarana produksi peternakan) sangat merusak usaha klien kami dan mengakibatkan timbulnya kerugian secara terus menerus dan berkepanjangan,” ujar Hermawanto.

“Bahkan tercatat kerugian yang dialami peternak mandiri yang hanya memiliki 20% kontribusi produksi perunggasan nasional sekitar Rp5,4 triliun rupiah sepanjang tahun 2019 dan 2020,” tambahnya.

Diakui Hermawanto, baru-baru ini Kementan melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan berupaya menjaga supply and demand DOC FS ayam ras pedaging dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Ditjen PKH No.08068/PK.230/F/03/2021 tentang Pengaturan dan Pengendalian Produksi anak ayam (DOC) FS, pada 8 Maret 2021 lalu.

SE yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No.32/Permentan/PK.230/09/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.

Meski demikian, faktanya Kementan belum melakukan stabilisasi perunggasan secara maksimal berkaitan dengan suplai LB, pakan, dan DOC dengan didukung data yang valid dengan pengawasan dan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang mengabaikan kebijakan pemerintah sesuai kewenangannya.

Kementan harus mengganti seluruh kerugian yang selama ini dialami peternak ayam rakyat sepanjang dua tahun terakhir.

“Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, Pemerintah berkewajiban untuk menghentikan kerugian yang terus terjadi pada Peternak mandiri Cq. Sdr. Alvino Antonio dengan melakukan tindakan sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan mengganti kerugian peternak rakyat sejumlah Rp5,4 T,” imbuhnya Hermawanto. {terasjakarta}