Film Cruella, Kupas Sisi Menarik Tokoh Antagonis 101 Dalmatians

Film Cruella adalah eksperimen kedua Disney untuk membuat film-film yang berbasis pada tokoh-tokoh villainess-nya, bukan princess-nya. Setelah Maleficent, yang merupakan antagonis dari kisah Sleeping Beuaty, kali ini giliran jatuh pada Cruella De Vill.

Bagi yang belum tahu, Cruella De Vill adalah tokoh antagonis dari franchise anjing berkulit polkadot, 101 Dalmatians.

Di film 101 Dalmatians (1996) dan sekuelnya, 102 Dalmatians (2000), Cruella de Vill (Glenn Close) ditampilkan sebagai perempuan yang ambisius, bengis, dan jahat.

Sebagai pecinta fashion kulit hewan, ia tidak akan segan meminta anak buahnya untuk memburu hewan liar, bahkan hewan peliharaan, untuk ia jadikan bahan pakaiannya.

Aksinya terhenti ketika dirinya berurusan dengan rombongan anjing Dalmatians yang lebih cerdik dari perkiraannya.

Cruella (2021) menarik mundur kisah Cruella De Vill ke tahun 1970, masa-masa di mana Inggris “menginvasi” dunia lewat Brit Rock-nya. Di masa itu, Pink Floyd, David Bowie, Led Zeppelin, Sex Pistols, dan The Clash menguasai radio dan televisi, menjadi role model untuk fashion di berbagai negara.

Di tengah hingar bingar British Invasion tersebut, Cruella tumbuh dengan nama asli Estella (Emma Stone). Lahir dari keluarga kurang berada, ia dikenal sebagai gadis yang memiliki kreativitas dan ketertarikan terhadap dunia fashion.

Ia berambisi menjadi desainer kelas dunia, namun lingkungannya tidak bersahabat dengannya. Di sisi lain, ia juga dikenal kejam, membuatnya dipanggil “Cruella”.

Karakteristik Estella yang nyentrik membuatnya kerap bentrok dengan teman-temannya. Alhasil, ia dikenal sebagai trouble maker oleh guru-gurunya. Tidak butuh waktu lama bagi sekolah Estella untuk mendepaknya jauh-jauh.

Hal tersebut tak ayal memaksa sang ibu, Catherine (Emily Beecham), memindahkannya ke London yang dirasa lebih cocok untuk Estella.

Di London, Catherine mencoba menitipkan Estella pada sahabatnya yang juga seorang ‘legenda’ di industri fashion Inggris, Baroness Von Hellman (Emma Thompson).

Sayang, tak lama setelah itu, Catherine meninggal akibat tiga anjing Dalmatian mendorongnya jatuh ke jurang. Tanpa ibu, tanpa wali, Estella berakhir sebatang kara di London dan bertahan hidup dengan menjadi pencuri bersama duo anak jalanan, Jasper (Joel Fry) dan Horace (Paul Walter Hauser).

Estella membantu keduanya dengan membuatkan pakaian-pakaian penyamaran mereka. Perjalanan hidupnya membawa Estella kembali kepada Baroness saat ia dewasa. Namun, ia mendapati Baroness mengenakan kalung yang ia tahu betul milik ibunya.

Curiga Baroness berperan pada kematian ibunya, Estella mulai menyusun rencana balas dendam. Untuk melancarkan misinya, ia membuat identitas baru, “Cruella”. Rambut hitam putih plus sudut bibir tajam adalah bagian dari persona barunya itu.

Mengusung genre Heist Movie, Cruella lebih fresh dibanding Maleficent yang sama-sama memperkenalkan ulang villain ikonik. Treatment-nya lebih energik, lebih rock and roll, terbantu oleh audio and visual direction yang memanfaatkan betul skena fashion serta musik di masa-masa British Invasion.

Penonton akan menemukan banyak sekali hal yang memanjakan mata dan telinga, terinspirasi oleh Brit Rock dan koleksi busana high couture di periode tersebut.

Bahkan, untuk mereka yang tidak begitu familiar dengan periode British Invasion, penonton akan dengan mudah mendapati betapa sutradara Craig Gillespie mencoba mengemulasikan periode itu dalam kisah Cruella.

Khusus untuk sisi fashion, Cruella mengajak Jenny Beavan sebagai desainer. Bagi kalian yang tidak familiar dengan Beavan, ia adalah costume designer Mad Max: Fury Road yang tampilannya sungguh gila itu.

Kalian memang tidak akan mendapatkan Cruella mengenakan topeng gigi kuda ala Imortan Joe, namun kalian bakal melihat pakaian-pakaian yang benar-benar menyalurkan kekejaman dan karakter nyentrik Cruella. Fashion over the top adalah hati film ini.

Nah, bagi yang familiar dengan Brit Rock di era British Invasion, you’re in for a treat. Menyerupai Guardians of The Galaxy, yang memperkenalkan ulang berbagai title klasik, soundtrack Cruella dipenuhi oleh band-band yang besar di era British Invasion.

Beberapa di antaranya adalah The Beatles, The Doors, Queen, Blondie, Supertramp, serta The Clash. Lirik musik-musik mereka adalah bagian dari storytelling Cruella.

Bicara soal storytelling, perlu diakui bahwa Cruella terkadang bisa terasa sangat mirip dengan Joker (2019) garapan Todd Philips. Premisnya serupa, “orang jahat adalah orang baik yang teraniaya”, betapapun reduktifnya statement itu.

Lewat Cruella, Disney ingin menunjukkan bahwa tidak semuanya hitam dan putih seperti rambut Cruella De Vill. Mereka yang tampil jahat di satu kisah belum tentu jahat sejak awal. Bisa jadi ada faktor yang “memaksa” mereka untuk menjadi seperti itu.

Meski mengusung premis sama, Cruella lebih “ramah” dibanding Joker. Joker memiliki rating R (dewasa), sementara Cruella adalah PG-13. Sekejam-kejamnya Cruella, dia tidak (bisa) berada di level yang sama dengan Joker.

Oleh karenanya, penekanan betapa Cruel-nya Cruella lebih kepada pencurian serta prank yang ia lakukan terhadap Baroness. Sungguh disayangkan mengingat karakter Cruella, sejak awal, diperlihatkan memiliki tendensi untuk beraksi gila, bonkers. Kegilaannya setengah mati ditahan.

Transformasi Estella menjadi Cruella juga tidak di level yang sama dengan Arthur Fleck menjadi Joker. Pada Joker, transformasi Arthur Fleck menjadi Clown Prince of Crime disampaikan dengan enak, mulus, dengan penonton disuguhkan segala hal yang menggiringnya ke sana. Hal serupa tidak terjadi di Cruella.

Pada Cruella, transformasi itu terkadang bisa terasa flat, draggy, dan kurang nendang. Hal itu diperburuk dengan karakter Cruella berkali-kali mencoba menyuapi penonton dengan apa saja yang ia alami.

Bagi orang tua yang membawa anak-anak untuk menonton Cruella, dengan bayangan akan mendapat film serupa 101 Dalmatians, masalah ini adalah yawn-inducing, bikin ngantuk. Untungnya, masalah itu sedikit banyak terbayarkan oleh akting Emma Stone yang ciamik sebagai Cruella.

Overall, Cruella adalah eksperimen yang relatif berhasil. Upaya Disney untuk membuat Joker versi mereka lumayan tercapai. Sayang, hal itu sedikit banyak terbebani oleh rating PG-13 yang ia miliki.

Sepanjang film terlihat jelas betapa sutradara Craig Gillespie berusaha menahan diri untuk tidak membawa direksi Cruella menjadi terlalu “Dewasa” namun di satu sisi tetap Edgy.

Hasilnya adalah Cruella yang tidak se-Cruel potensi yang ia punya. Namun, kami tidak bisa mengingkari film ini memanjakan mata dan telinga.

FATHIN {kumparan}