Garuda Terancam Bangkrut Jika Restrukturisasi Utang Rp.70 Triliun Gagal

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menuturkan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terancam mengalami kebangkrutan apabila proses restrukturisasi utang perseroan kepada kreditur gagal. Saat ini, utang maskapai pelat merah itu mencapai US$4,5 miliar setara Rp70 triliun.

“Memang ada risiko apabila dalam restrukturisasi ada kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda, bisa terjadi tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa terjadi akan menuju kebangkrutan.

Ini yang kami hindari sebisa mungkin dalam proses legalnya, karena harapannya akan ada kesepakatan dari seluruh kreditur untuk menyepakati restrukturisasi Garuda,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi VI DPR, Kamis (3/6).

Tiko, sapaan akrabnya, mengakui restrukturisasi utang Garuda Indonesia bukan perkara mudah lantaran membutuhkan negosiasi dan proses hukum kompleks.

Pasalnya, mayoritas utang Garuda Indonesia adalah kepada pemberi sewa (lessor) pesawat luar negeri dan pemegang surat utang syariah atau sukuk internasional.

Saat ini, lanjutnya, Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mayoritas tengah dalam proses menyusun skema restrukturisasi dan menunjuk konsultan hukum guna mengawal proses legal.

Dalam hal ini, Kementerian BUMN telah berkoordinasi dengan manajemen Garuda Indonesia, pemegang saham minoritas, hingga Kementerian Keuangan.

“Ini melibatkan lessor dan peminjam dalam bentuk global sukuk bond yang dimiliki oleh pemegang sukuk dari middle east.

Sehingga, mau tidak mau kalau kami melakukan renegosiasi internasional harus melalui proses legal internasional, tidak bisa hanya di Indonesia, karena justru mayoritas utang Garuda adalah kepada lessor dan pemegang sukuk internasional,” imbuhnya.

Proses restrukturisasi sendiri akan dibarengi dengan moratorium pembayaran utang karena kas perseroan semakin menipis. Targetnya, program moratorium bisa dilaksanakan dalam waktu dekat.

Ia menuturkan dalam sebulan Garuda Indonesia bisa merugi US$100 juta atau sekitar Rp1,4 triliun. Kondisi tersebut disebabkan biaya operasional maskapai itu mencapai US$150 juta, namun pendapatannya hanya US$50 juta.

“Jadi setiap bulan rugi US$100 juta. Memang tidak mungkin kami lanjutkan dalam kondisi yang sekarang,” tuturnya.

Harapannya, lewat restrukturisasi itu perseroan bisa menurunkan biaya operasional hingga 50 persen. Sementara itu, program restrukturisasi sendiri ditargetkan selesai dalam kurun waktu 270 setelah moratorium pembayaran utang.

“Diharapkan dalam waktu 270 hari setelah moratorium, kami bisa menyelesaikan restrukturisasi ini,” ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri BUMN Erick Thohir meyakini bahwa masalah terbesar Garuda Indonesia adalah beban kepada lessor yang mencapai 36 pihak. Oleh sebab itu, Kementerian BUMN berencana memetakan ulang lessor.

“Ada 36 lessor yang memang harus kami petakan ulang, mana lessor yang sudah masuk kategori dan kerja sama pada kasus yang sudah dibuktikan koruptif, itu yang pasti kami akan standstill (moratorium) bahkan negosiasi keras,” ucapnya.

Sedangkan, untuk lessor yang tidak bermasalah ia menuturkan pemegang saham akan mendorong Garuda Indonesia untuk melakukan negosiasi. Sebab, beban pembayaran kepada para lessor tersebut dirasa berat pada masa pandemi covid-19 saat ini.

“Beban kedua terberat yaitu memang kami harus berani mengubah bisnis model tidak hanya Garuda tapi banyak perusahaan BUMN pasca covid-19,” ucapnya. {CNN}