News  

Kritik Penanganan COVID-19, INDEF: Indonesia Lagi Sakit Tapi Ekonomi Disuruh Lari

Anggaran program pemulihan ekonomi nasional alias PEN yang diluncurkan pemerintah untuk mengatasi dampak COVID-19 dinilai tidak efektif.

Menurut Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini anggaran PEN tidak mengubah apapun dari krisis yang terjadi.

Dia mengatakan anggaran PEN dipatok sangat besar namun hasilnya penyebaran COVID-19 masih tinggi bahkan dia menyebut sebagai juara dunia. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi juga tak kunjung ke arah positif.

“Pembiayaan PEN dan COVID ini cukup besar, Rp 600-700 triliun, untuk pulihkan ekonomi sekaligus untuk tangani COVID. Tapi sekarang hasilnya malah COVID-nya juara dunia, tidak selesai selesai.

Lalu, pertumbuhan ekonominya juga tetap rendah. Ini adalah kegagalan penanganan pandemi,” ungkap Didik dalam sebuah webinar, Minggu (1/8/2021).

Menurutnya pun sejak awal pandemi pemerintah seharusnya mengambil keputusan lockdown, bukan malah beralasan tidak mampu membiayai lockdown. Buktinya, sekarang pun anggaran bantuan sosial juga banyak.

“Anggaran sosial ini banyak tapi keluhan sangat banyak. Dari biaya ini harusnya nggak perlu khawatir lockdown, tapi Presiden bilangnya nggak bisa, maka COVID-nya terus terbengkalai,” ungkap Didik.

Dia menggambarkan Indonesia saat ini bagaikan orang sakit yang ekonominya diminta berlari. Logika kebijakan yang diambil sudah kadung salah sejak awal, dia menilai harusnya masalah kesehatan diprioritaskan baru bicara ekonomi.

“Kita ini kayak orang sakit disuruh lari, orang beres dulu harusnya baru lari. Ini logika terbalik, kebijakan dari segi rasionalismenya sudah salah,” ungkap Didik.

Salah satu yang memicu kesalahan pengambilan kebijakan ini adalah proses politik menurutnya, politik yang memiliki kepentingan di balik penetapan anggaran-anggaran yang besar. Hal ini lah yang menjadi masalah pada penanganan pandemi.

“Banyak sekali yang berkepentingan dalam mengambil keputusan alokasi anggaran sebesar-besarnya ini. Itu adalah proses politik, ini problem pertama implikasinya besar,” ungkap Didik.

Di sisi lain, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan juga mengatakan kebijakan anggaran yang dilakukan pemerintah dalam menangani dampak COVID-19 tidak tepat dan cenderung mubazir.

Dia menyoroti pemerintah yang terlalu mementingkan ekonomi sejak awal pandemi dibandingkan menumpas tuntas COVID-19. Alhasil, banyak uang terbuang namun membuat kasus COVID-19 tak kunjung mereda.

“Kita ini sudah banyak keluar uang tapi COVID masih juara dunia, karena penuntasannya nggak tuntas. COVID belum tuntas, tapi kebijakan ekonomi didahulukan, sehingga tiap mengendalikan jadinya gagal. Uang itu mubazir ini lah yang membuat pengendalian PEN tidak efektif,” ungkap Anthony dalam webinar yang sama.

Dia pun menyoroti adanya anggaran lebih dari APBN 2020 alias Silpa yang tidak tertangani dengan baik. Padahal anggaran itu bisa digunakan untuk menangani dampak COVID-19. Berdasarkan data LKPP 2020 dari BPK yang dipaparkan olehnya ada total Silpa di tahun 2020 ada Rp 338 triliun.

“Ini ada penumpukan Silpa tidak digunakan di masa pandemi. Ini kalau saya katakan adalah kejahatan kemanusiaan, banyak yang meninggal, ada dananya, tapi nggak dipakai. Jadi total Silpa sampai 2020 itu Rp 338 triliun ini luar biasa,” papar Anthony.

“Makanya ini bukan masalah uang, ini politik anggaran. Ini mau dikemanakan Silpa nggak dipakai,” tegasnya. {detik}