News  

Pembela HAM di Indonesia Sering Dianggap Musuh Negara, KontraS: Dibungkam, Diancam Dan Dibunuh

Pihak Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyampaikan, pemerintah sering menganggap bahwa pembela hak asasi manusia (HAM) sebagai musuh negara.

Padahal, menurut Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, para pembela HAM bekerja untuk membela masyarakat dan memastikan situasi negara lebih baik.

“Tapi orang-orang yang bekerja di untuk memperjuangkan HAM selalu dianggap musuh negara, pembuat onar, dibungkam, diancam, diintimidasi atau dibunuh,” kata Fatia dalam diskusi virtual yang diadakan Tim Public Virtue Research Institute dan Themis Indonesia, Senin (6/9/2021).

Fatia menyampaikan, lima tahun terakhir angka kekerasan pada pembela HAM cukup tinggi.

Para pembela HAM, menurut dia, bukan sekedar sebutan untuk mereka yang bekerja di organisasi masyarakat sipil, tetapi juga masyarakat yang mempertahankan hak-hak asasinya dan hak asasi orang disekitarnya.

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, Fatia menyebut, kekerasan pada pembela HAM cukup tinggi, terutama jika terkait dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA).

“Di mana itu seiring dengan agenda pembagunan infrastruktur yang jadi prioritas presiden kita saat ini,” kata dia.

Menurut Fatia, banyak kasus kekerasan pada pembela HAM atau pun masyarakat di wilayah pembangunan infrastruktur menunjukan tidak adanya kesinambungan antara kesetaraan HAM dan proses pembangunan yang dicanangkan pemerintah.

“Katanya agenda pembangunan tersebut untuk mempermudah masyarakat, untuk masyarakat, untuk kemajuan negara ini,” ucap Fatia.

“ironinya disamping itu ternyata yang dibuat menderita adalah masyarakat itu sendiri,” kata dia.

Fatia menegaskan bahwa kekerasan pada pembela HAM akan terus terjadi selama tidak ada pengungkapan kasus pembunuhan Munir Said Thalib.

Salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah, menurut dia, adalah dengan membuka data dari Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir pada masyarakat.

Dalam pandangan Fatia, jika fakta-fakta kematian Munir tidak disampaikan secara transparan, akan menunjukan bahwa pemerintah tidak pernah serius untuk menyelesaikan kasus tersebut.

“Juga mencerminkan pemerintah takut dan enggan menyelesaikan karena banyak pelanggaran HAM berat yang (jika diselesaikan) akan mengorbankan stabilitas politik, karena orang-orang yang terlibat masih ada dalam pemerintahan,” ucap dia.

Aktivis HAM Munir Said Thalib meninggal dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda melalui Singapura pada 7 September 2004.

Ia diduga meninggal dua jam sebelum pesawat Garuda Indonesia bernomor GA-974 yang ditumpanginya mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam. Hasil otopsi menunjukan adanya senyawa arsenik dalam tubuh munir.

Kemudian, dalam persidangan mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto ditetapkan sebagai pelaku pembunuhan tersebut dan menjalani hukuman selama 14 tahun penjara.

Namun banyak pihak masih merasa bahwa aktor utama dari pembunuhan Munir belum terungkap sampai saat ini. {kompas}