News  

Awasi Politik Gentong Babi Para Menteri Yang Ingin Nyapres

Politik gentong babi kembali mencuat setelah ada indikasi banyak menteri yang potensial nyapres. Para menteri tersebut dihawatirkan akan menggunakan dana publik untuk mempengaruhi masyarakat memilihnya pada pilpres 2024.

Demikian dikatakan Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga dalam pernyataan kepada www.suaranasional.com, Selasa (19/10/2021).

Kata Jamiluddin, peluang politik gentong babi sangat terbuka, terutama menteri yang tugas dan fungsinya (tupoksinya) bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Para menteri itu bisa saja mengkonversi beberapa program untuk digunakan kampanye secara indirect. Menteri membawa program ke masyarakat tidak untuk kepentingan kementerian yang dipimpinnya, tapi diarahkan untuk kepentingan nyapres.

“Kampanye indirect (terselubung) menggunakan dana negara memang berpeluang mempengaruhi masyarakat. Apalagi saat ini sebagian masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kelompok masyarakat seperti ini tentu potensial dipengaruhi politik gentong babi,” ungkapnya.

Hanya saja besar kecil pengaruhnya sangat ditentukan oleh nilai jual dari menteri yang melakukan politik gentong babi. Bagi menteri yang nilai jualnya tinggi (terlihat dari elektabilitasnya), tentu pengaruh politik gentong babi akan sangat besar kepada masyarakat.

Politik gentoong babi justeru akan menimbulkan efek penguatan bagi masyarakat untuk memilih sang menteri.

“Sebaliknya, menteri yang nilai jualnya rendah, tentu pengaruh politik gentong babi terhadap masyarakat memang ada. Hanya saja pengaruhnya tidak akan meningkatkan elektabilitasnya secara signifikan,” jelasnya.

Jadi, yang sangat dihawatirkan bila menteri itu punya nilai jual tinggi dan tupoksinya bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Menteri seperti ini akan berpeluang memanfaatkan politik gentong babi untuk makin meningkatkan elektabilitasnya. Politik gentong babi akan sangat efektif dimanfaatkan untuk menambah lumbung suara.

Peluang itu semakin besar mengingat di Indonesia lebih dominan pemilih emosional. Mereka memilih bukan karena kapasitas dan kompetensi calon, tapi kerap masih atas pertimbangan perut. Mereka inilah yang berpeluang besar terpengaruh oleh politik gentong babi.

Peluang seperti itu, kata Jamiluddin tak dimiliki calon yang tidak memiliki jabatan publik. Mereka tidak dapat melakukan politik gentong babi, karena mereka memang tidak mempunyai akses untuk itu.

Calon yang bukan pejabat publik tentu akan menggunakan dana pribadi atau dana sponsor untuk mempengaruhi masyarakat pemilihnya. Penggunaan dana tersebut untuk mempengaruhi rakyat tidak dapat dikatakan politik gentong babi.

“Namun penggunaan dana dari mana pun sumbernya dapat disebut politik uang. Hal ini tentu tidak dibenarkan dan melanggar perundang-undangan pemilu. Pelakunya dapat dikenakan pidana,” jelasnya. {SN}