News  

Hati-Hati! Harga Barang Mahal Picu Lonjakan Inflasi dan PHK

Semua serba mahal sekarang. Mulai dari harga elpiji, minyak goreng, cabai rawit, telur ayam, sampai rokok.

Eza, ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Jakarta Selatan bahkan sampai tobat masak menggunakan cabai rawit. Harganya yang sudah tembus Rp160 ribu per kg bikin ia ‘geleng-geleng kepala’.

Belum lagi kebutuhan dapur lainnya yang ikut menguras uang belanja bulanan perempuan berumur 30 tahun itu, dari minyak goreng sampai telur ayam.

“Pusing, semua naik. Telur, cabai, gas. Saya berhenti masak yang berbau cabai sekarang,” keluh Eza kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/1).

Ia tak bisa membayangkan jika wacana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) Premium benar-benar dilakukan pada 2022. Hal itu akan membuat biaya bulanan keluarga semakin meledak.

Pasalnya, pemerintah seakan memaksa ia dan suami membeli Pertalite yang harganya lebih mahal dibandingkan Premium.

“Mungkin ada pertimbangan di Pertamina atau pemerintah, tapi sebagai warga awam ya kalau bisa naiknya jangan barengan,” ucap Eza.

Eza tentu tak sendiri. Masih banyak masyarakat lain yang mengeluh karena semua harga barang pokok naik.

Bicara mengenai barang pokok, minyak goreng, telur, dan cabai rawit sebenarnya sudah naik sejak sebelum Natal 2021. Mayoritas bahan pangan naik sebelum perayaan umat Kristiani sampai tahun baru.

Mengutip Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga minyak goreng kemasan bermerek 1 bahkan sudah tembus Rp20 ribu per liter pada 4 Januari 2022. Harganya jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp11 ribu per liter.

Begitu juga dengan harga cabai rawit merah yang mencapai Rp85.150 per kg pada 4 Januari 2022. Harganya melonjak dari November 2021 lalu yang cuma Rp35.750 per kg.

Telur ayam pun begitu. November 2021 lalu harganya masih sekitar Rp24 ribu-Rp25 ribu per kg. Sekarang, harga rata-rata nasional mencapai Rp30 ribu per kg.

Ditambah dengan harga elpiji yang ikut naik pada Januari 2022. Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com di Jakarta Selatan, harga elpiji non subsidi ukuran 12 kg naik dari Rp140 ribu-Rp150 ribu menjadi Rp175 ribu-Rp180 ribu.

Kemudian, harga elpiji ukuran 5,5 kg naik dari Rp75 ribu-Rp80 ribu menjadi Rp87.500-Rp90 ribu. Ini belum apa-apa. Kenaikan harga juga terjadi pada rokok karena pemerintah mengerek tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 12 persen pada 2022.

Tak sampai di situ. Kementerian ESDM sedang mengkaji penerapan kembali skema penyesuaian tarif tenaga listrik (tariff adjustment). Jika kembali diterapkan, maka tarif listrik otomatis naik tahun ini.

Penyesuaian tarif listrik biasanya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), dan tingkat inflasi nasional. Jika ketiganya meningkat, maka tarif listrik pelanggan non subsidi ikut naik dan begitu juga sebaliknya.

Inflasi

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan harga barang otomatis akan memengaruhi inflasi. Inflasi sendiri terdiri dari dua jenis. Pertama, demand pull inflation. Artinya, inflasi disebabkan oleh kenaikan permintaan atau konsumsi masyarakat.

“Ini jenis inflasi yang diharapkan karena berarti ada pemulihan ekonomi,” tutur Bhima.

Kedua, cost push inflation. Hal ini terjadi ketika inflasi disebabkan kenaikan harga barang oleh produsen.

Dengan kata lain, permintaan sebenarnya rendah, tetapi harga naik karena berbagai faktor, misalnya gangguan rantai pasok atau kenaikan tarif kontainer.

“Ini jenis inflasi yang tidak diharapkan karena bukan mencerminkan pemulihan ekonomi. Harga naik karena ada beberapa kasus, misalnya krisis energi, gangguan rantai pasok, dinaikkan oleh produsen,” jelas Bhima.

Inflasi RI sendiri tercatat terus naik sejak November 2021. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indeks harga konsumen (IHK) mengalami inflasi atau kenaikan harga sebesar 0,37 persen secara bulanan pada November 2021. Lalu, inflasi Desember 2021 tercatat 0,57 persen.

Realisasi itu menjadi yang tertinggi dalam dua tahun terakhir.

Berkaca pada apa yang terjadi sekarang, Bhima menilai potensi lonjakan inflasi ada karena cost push inflation. Harga barang naik bukan karena ada peningkatan dari sisi permintaan, melainkan karena produsen mengerek sendiri harga jualnya.

“Ketika orang tidak beli, kenaikan harga itu tidak bagus. Dampaknya cost push inflation, ini akan menahan pemulihan konsumsi rumah tangga,” terang Bhima.

Apalagi, rata-rata upah minimum provinsi (UMP) tahun ini hanya naik sekitar 1 persen. Kenaikan UMP biasanya akan menjadi acuan rata-rata kenaikan gaji karyawan.

“Kenaikan pendapatan tak sebanding dengan kenaikan harga barang. Artinya, kenaikan gaji kecil, tapi biaya hidup naik signifikan,” terang Bhima.

Kalau sudah seperti ini, orang akan mengurangi konsumsinya agar arus kas tetap terjaga. Ketika konsumsi turun, maka proses pemulihan ekonomi akan terganggu.

Maklum, ekonomi RI masih sangat bergantung dengan konsumsi rumah tangga. Hal ini berpotensi membuat ekonomi domestik kembali melambat pada awal 2022. Bukan cuma soal ekonomi. Inflasi juga bisa berdampak pada penerimaan pajak.

Bhima mengatakan inflasi akan membuat industri terjepit. Jika tetap menaikkan harga, maka penjualan berpotensi turun karena konsumen mengurangi belanja.

Ketika penjualan turun, maka pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) yang disetor ke negara ikut berkurang karena volume transaksi turun.

“Industri manufaktur sumbang 30 persen dari total penerimaan pajak, kalau industri manufaktur kena, maka mau tak mau berpengaruh ke setoran pajak,” jelas Bhima.

Picu PHK

Sementara, jika perusahaan menahan harga tak jauh dari biaya produksi, maka potensi keuntungan yang diraih juga tipis. Hal itu akan mempengaruhi arus kas perusahaan.

Ujung-ujungnya, perusahaan akan melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah karyawan demi menghemat biaya operasional. “Kalau tidak untung, nanti efisiensi, ujung-ujungnya pemutusan hubungan kerja (PHK),” ucap Bhima.

Ketika jumlah PHK meningkat, jumlah orang miskin otomatis akan meningkat. Efeknya, proyeksi ekonomi bisa-bisa kembali direvisi oleh pemerintah dan proses pemilihan ekonomi domestik ‘ambyar’.

“PHK efeknya ke mana-mana, terjadi gejolak sosial, revisi proyeksi ekonomi, angka kemiskinan naik,” imbuh Bhima.

Di sisi lain, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpendapat dampak kenaikan inflasi terhadap PHK memang ada. Namun, sifatnya jangka panjang.

Efek lonjakan inflasi yang paling cepat terasa, kata Nailul, adalah pelemahan daya beli masyarakat. Bila daya beli turun, tingkat konsumsi masyarakat akan mengikuti.

“Daya beli masyarakat yang menurun akan menyebabkan konsumsi masyarakat menurun. Akibatnya perekonomian akan melemah dan perusahaan akan malas untuk menambah produksi,” tutur Nailul.

Meski begitu, ia berharap harga bahan pangan kembali normal pada Februari 2022 mendatang. Hal itu akan membantu inflasi tetap stabil pada kuartal I 2022.

“Mudah-mudahan Februari harga-harga normal, biasanya sih normal untuk telur, tapi minyak goreng bisa jadi tetap karena harga minyak sawit mentah juga masih tinggi,” kata Nailul.

Namun, kenaikan harga minyak, elpiji, dan rokok tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, kenaikan harga mengikuti perkembangan pasar dan untuk rokok karena penetapan tarif baru CHT tahun ini.

Untuk itu, Nailul tak menampik ada potensi penurunan konsumsi pada kuartal I 2021. Hal itu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi pada periode Januari-Maret 2022.

“Kuartal I 2022 tetap positif namun jika harga tetap tinggi bisa melambat hingga 3 persen-3,5 persen. (Kalau harga normal) proyeksi pertumbuhan ekonomi 4 persen-4,3 persen,” jelas Nailul.

Untuk mengantisipasi dampak dari kenaikan harga berbagai barang tahun ini, Nailul mengingatkan pemerintah untuk memastikan penyaluran bantuan sosial (bansos) tepat sasaran. “Bansos dan sebagainya selama pandemi masih diperlukan,” ucap Nailul.

Selain itu, pemerintah juga harus menjaga aktivitas produksi di industri tetap normal. Dengan demikian, tak ada PHK dan daya beli bisa lebih terjaga. {CNN}