News  

Pindah Ibukota Bukan Perkara Sepele: Malaysia, Myanmar Hingga Australia Pernah Gagal

Perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur menjadi proyek ambisius pemerintahan saat ini. Tak heran, proyek besar tersebut cukup menimbulkan polemik di kalangan masyarakat terkait pembangunannya yang tergesa-gesa.

Salah satunya, ekonom senior Faisal Basri menilai pembangunan Ibu Kota lebih tepat dilakukan satu dekade mendatang. Saat Indonesia tidak tengah menghadapi banyak soal pelik, terutama masih adanya pandemi COVID-19.

“Namanya aja keblinger menurut saya ya, dengan dijadikannya ibu kota dengan nama Nusantara jadi mengecilkan arti Nusantara itu. Jadi Nusantara itu dikecilkan menjadi nanti yang populer Nusantara sebagai ibu kota, bukan sebagai entitas dari negara Republik Indonesia,” tutur Faisal dalam Public Expose RUU IKN yang digelar Partai Keadilan Sejahtera, Selasa (18/1).

Presiden Jokowi sendiri telah menyampaikan beberapa urgensi yang menjadi pertimbangan pemerintah memindahkan Ibu Kota. Berdasarkan Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara, salah satu urgensinya adalah Jakarta yang terancam tenggelam, banjir, gempa bumi, dan tanah turun.

Jakarta saat ini dinilai mengalami penurunan daya lingkungan. Pemerintah Indonesia sempat menyebutkan keputusan untuk membangun Ibu Kota baru sebagai simbol untuk mengatasi pemerataan pembangunan daerah.

Seorang profesor ilmu sosial Universitas Toronto, Edward Schatz, dalam jurnal berjudul “When Capital Cities Move: The Political Geography of Nation and State Building”,

perpindahan Ibu Kota memang tidak hanya berbicara soal pembangunan infrastruktur fisik, tetapi alat simbolis untuk menunjukkan legitimasi politik seorang pemimpin, keselarasaan budaya, dan efektivitas dalam pemerintahan.

Sebagai contoh, terdapat alasan Brazil memutuskan memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada tahun 1960, yakni untuk mendorong pembangunan di negara bagian tengah Brazil dengan mengandalkan daerah pesisir dan selatan wilayah tersebut.

Arsitektur bernama Rapoport dalam buku “On the Nature of Capital Cities and their Physical Expression” menambahkan, Brasilia yang mengusung arsitektur modern memiliki fungsi sentral sebagai pemerintahan, tetapi secara simbolis menunjukkan keagungan bangsa dari kepemimpinan.

Lantas, negara mana saja yang terbilang berhasil memindahkan Ibu Kota?

Kazakhstan

Kazakhstan, memindahkan Ibu Kota dari Almaty ke Astana. Presiden Nursultan Nazarbayev yang waktu itu memimpin Kazakhstan, memiliki cukup kuat latar belakang pertimbangan Astana (sekarang bernama Nursultan) sebagai Ibu Kota baru. Mulai dari wilayah Almaty yang berada dalam zona aktivitas seismik yang cukup rawan gempa bumi.

Kemudian, adanya pengaruh politik wilayah Almaty yang berada di pinggiran yang berbatasan langsung dengan China.

Hal ini menjadi pertimbangan penting Nazarbayev, karena di akhir 1990-an hubungan antara wilayah China dengan negara pecahan Uni Soviet di bagian Asia Tengah memburuk. Almaty yang berada di wilayah tersebut dinilai tidak aman sebagai pusat pemerintah Kazakhstan pada waktu itu.

Meskipun perpindahan Ibu Kota cukup menantang bagi Nazarbaev, wilayah Astana berhasil menjadi jembatan di tengah keberagaman etnis mereka.

Schatz, mengatakan setidaknya Ibu Kota baru yang berada di Astana saat itu, menjadi peredam persaingan sub-etnis antara Greater Horde of Nazarbayev dengan Middle Horde.

Nigeria

Hampir sama dengan Kazakhstan, perpindahan kota negara Nigeria dari Lagos ke Abuja juga dilatarbelakangi salah satunya sebagai strategi pembangunan negara.

Pemerintah Nigeria pada saat itu memilih Abuja, karena wilayahnya berada di antara penduduk terbesar Muslim wilayah utara dengan Kristen di bagian Selatan Nigeria. Daerah Abuja dinilai sebagai upaya dalam mendamaikan hubungan multi-etnis tersebut.

Brasil

Marcus Lee, senior ekonom urban dari World Bank in Indonesia, menilai Brasilia menjadi lokasi tepat untuk perpindahan ibu kota Brasil pada waktu itu.

Berawal dari wilayah Rio de Janeiro yang sudah terlalu sesak oleh penduduk, Brasilia berhasil menjadi kota dengan pertumbuhan yang cukup pesat.

Dari sisi ekonomi, saat ini Brasilia berhasil mencapai pendapatan per kapita (GDP) paling tinggi di antara kota di Amerika Latin dan memiliki populasi pada waktu itu mencapai 3 juta.

Selain ketiga negara di atas, Inggris yang memindahkan Ibu Kota dari Winchester ke London, kemudian Rusia yang Ibu Kotanya berada di St. Petersburg menjadi ke Moskow, serta Amerika Serikat dari New York ke Washington DC, terbilang berhasil dalam merelokasi ibu kota ke lokasi yang berbeda.

Deretan Negara-negara yang Gagal Memindahkan Ibu Kota

Myanmar

Ibu Kota Myanmar sebelum dipindahkan ke Naypyidaw pada tahun 2005 berada di Yangon. Pada waktu itu, Naypyidaw merupakan hamparan padang rumput kosong,sampai pada akhirnya dibangunlah Ibu Kota baru Myanmar.

Tidak berjalan mulus, Naypyidaw kini menjadi ibu kota negara yang mendapatkan julukan “Kota Hantu”.

Berdasarkan artikel yang dilansir The Guardian, “Burma’s Bizzare Capital: A Super-sized Slice of Post Apocalypse Suburbia”, jalan raya yang membentang luas di Naypyidaw benar-benar kosong. Alasan pemindahan ibu kota ke Naypyidaw juga dipenuhi rumor dan spekulasi.

Proyek ambisius tersebut digadang-gadang hanya sebagai proyek “kesombongan” Than Shwe, pemimpin militer negara pada saat itu. Naypyidaw dijadikan sebagai objek kota yang melambangkan keagungannya.

Meski jalan raya Ibu Kota tersebut terlihat kosong, kondisi suram lainnya yang ditemui adalah banyak laporan-laporan kecelakaan fatal yang terjadi di sepanjang jalan tersebut. Menandakan tidak adanya keseriusan pembangunan infrastruktur dalam hal keamanan.

Malaysia

Fungsi pemindahan Ibu Kota adalah mencapai pemerataan pembangunan daerah. Namun, Malaysia yang memindahkan Ibu Kotanya ke Putrajaya sebagai kota administratif pemerintahan, justru tidak dilirik oleh pegawai pemerintah untuk tinggal di kota tersebut.

Alasan yang paling muncul adalah mereka tidak ingin tinggal jauh dari sanak saudara. Marcus Lee, senior ekonom urban juga mengatakan pemindahan Ibu Kota oleh Malaysia menjadi salah satu yang tidak efektif dengan tujuan untuk menyeimbangkan populasi dan kegiatan ekonomi dasar.

Korea Selatan

Kondisi Ibu Kota de facto Korea Selatan baru yang berada di Sejong juga hampir sama dengan Malaysia. Banyak pegawai pemerintahannya yang menolak untuk direlokasi dengan alasan tidak bersedia melakukan commuting setiap minggunya ke Seoul.

Selain itu, kehidupan sosial mereka hampir sebagian besar di Seoul. Mereka menilai Sejong adalah kota yang “tidak berjiwa”. Sementara itu, perpindahan Ibu Kota Australia dari Sydney ke Canberra juga tidak berjalan semulus itu.

Berdasarkan pengamatan dari seorang pakar politik dan perencanaan kota Universitas Melbourne, Profesor Michele Acuto, kekuatan ekonomi Australia setelah melakukan perpindahan Ibu Kota terlihat tetap terpisah dari pusat kekuasaan politik (Canberra) lebih dari satu abad lamanya, setelah pindahnya Ibu Kota dari Sydney ke Canberra. {kumparan}