News  

Guru Besar UI: Ekstradisi RI-Singapura Dinilai Tak Mempan Jerat Para Pengemplang BLBI

Tahun 2022, Indonesia dan Singapura telah menyepakati perjanjian ekstradisi. Pelaku kejahatan yang berada di Singapura dapat dibawa ke Indonesia dan sebaliknya dengan adanya perjanjian ini.

Kesepakatan ekstradisi terjalin saat Presiden Jokowi bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong di Bintan pada Selasa (25/1/2022).

Menurut Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, ekstradisi ini bisa digunakan untuk memburu para pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Indonesia akan mampu menuntaskan pelaku kejahatan di masa lampau dan siap untuk mengimplementasikan Keputusan Presiden terkait Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI,” kata Luhut, di akun media sosialnya, kemarin, Rabu (26/1).

Apakah benar demikian?

Diketahui, ekstradisi berdasarkan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1979 adalah: penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili.

Berangkat dari situ, pengamat yang juga Guru Besar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Satgas BLBI tak bisa menggunakan ekstradisi. Mengingat Satgas BLBI bergerak dengan pendekatan perdata, bukan pidana.

“Oh enggak bisa, enggak bisa. Ekstradisi itu terhadap orang yang melakukan kejahatan. Jadi orangnya, bukan asetnya,” kata Hikmahanto saat dihubungi kumparan, Kamis (27/1).

“Setahu saya Satgas BLBI ini approachnya masalah perdata, perdata. Jadi dia minta misalnya gugat, misalnya sita, tapi secara perdata, bukan secara pidana. Kalau pidana kan orangnya yang melakukan kejahatan,” ucap dia.

Di sisi lain, apabila menggunakan pendekatan pidana, BLBI juga sulit untuk bisa diusut. Sebab, dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura 2022, kesepakatan retroaktif hanya 18 tahun. Sementara, kasus BLBI sudah terjadi pada 1998-1999, lebih dari 18 tahun.

Artinya, pemerintah hanya bisa mengusut pidana yang terjadi 18 tahun ke belakang dari 2022, yakni maksimal yang terjadi pada 2004. Sehingga dinilai sulit diterapkan.

Hikmahanto mengatakan, retroaktif 18 tahun dinilai dipatok berdasarkan masa kedaluwarsa penuntutan perkara berdasarkan KUHP. Dalam Pasal 78 KUHP dibeberkan masa kedaluwarsa suatu penuntutan kasus berdasarkan ancaman hukumannya.

Maksimal, untuk ancaman hukuman seumur hidup, masa kedaluwarsanya adalah 18 tahun. Namun ini ada masa tenggang kedaluwarsanya.

Melihat hal tersebut, Hikmahanto pun mengatakan bahwa akan sulit jika menggunakan ekstradisi untuk kasus BLBI terkait pidana. Kondisi saat ini saja, kasus pidana BLBI sudah dihentikan oleh Kejagung maupun KPK.

Teranyar, KPK menghentikan perkara 2 tersangka BLBI yakni pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih Nusalim, karena penyelenggara negara di kasus tersebut, Syamsuddin Arsjad Temenggung, divonis lepas oleh pengadilan.

Sehingga KPK tak bisa mengusutnya, karena tak ada penyelenggara negara yang terlibat. KPK sudah mengajukan kasasi, namun ditolak oleh Mahkamah Agung.

“Kalau BLBI sudah sulit sekarang ini. Orang di Indonesia aja sudah gugur menuntutnya. Jadi gimana mau, kan gini. Harus ada di Indonesia proses hukum, lalu ada ekstradisi, iya kan. Nah kalau misalnya di Indonesia sudah sudah gugur ya mau apa?” kata Hikmahanto.

“Sepanjang tidak gugur penuntutan, silakan aja diusut ulang (oleh penegak hukum). Enggak ada masalah. Tapi kalau sudah gugur, gimana? kedaluwarsa,” sambung dia.

Kinerja Satgas BLBI

Diketahui, Satgas BLBI yang bergerak dari sisi perdata, selama 7 bulan bekerja, berhasil mengumpulkan hak negara dari para pengemplang atau obligor sebanyak Rp 9,82 triliun.

Adapun total hak negara atas dana BLBI yang harus dikumpulkan senilai Rp 110,45 triliun, dengan waktu kerja Satgas BLBI hanya sampai 31 Desember 2023.

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, saat awal Satgas BLBI terbentuk, tak menutup kemungkinan menjerat pidana bagi pengemplang BLBI yang tak kooperatif dalam kinerja Satgas.

“Saya ingin tekankan bahwa proses yang kita lakukan ini adalah proses hukum perdata karena hubungan antara debitur dan obligor dengan negara adalah hubungan hukum perdata sesuai dengan putusan MA yang sudah inkracht,” kata Mahfud di Perumahan Lippo Karawaci,Kelapa Dua, Tangerang, Jumat (27/8/2021).

“Tetapi supaya diingat bahwa hubungan keperdataan itu ditetapkan oleh MA dalam kerangka penetapan atau hubungan yang dilakukan oleh BPPN dengan para obligor dan debitur, berdasarkan itu sudah selesai hukum perdata. Sekarang sudah jadi hak negara untuk menagih.

Kita akan berupaya sepenuhnya selesai sebagai hukum perdata atau melalui proses-proses perdata, bukan tidak mungkin jika nanti di dalam perjalanannya bisa disertai tindak-tindak pidana,” sambung Mahfud. {kumparan}