News  

Profesor UI: Singapura Cerdik, Indonesia Dikecoh Soal MoU Ruang Udara

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana menilai Singapura cerdik sehingga bisa mengecoh Indonesia. Hal itu terkait perjanjian ruang udara atau Flight Information Region (FIR) yang diteken Pemerintah RI-Singapura.

“Ternyata Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan Perjanjian FIR sehingga para negosiator Indonesia terkecoh,” kata Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Minggu (30/1/2022).

FIR yang seharusnya dikelola oleh Indonesia dalam ketinggian berapa pun, justru saat perjanjian efektif berlaku ternyata di wilayah tertentu untuk ketinggian 0-37 ribu kaki didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura.

Dia mengatakan pada ketinggian tersebut bagi Singapura sangat krusial. Hal ini karena pesawat udara mancanegara melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandar Udara Changi.

“Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia. Keselamatan harus dipastikan,” ujar Hikmahanto Juwana.

Menurutnya, bila FIR diserahkan ke Indonesia, hal itu akan mengancam keberadaan Bandara Changi sebagai hub. Dia menyebut ada dua kecerdikan Singapura dalam mengecoh negosiator Indonesia. “Pertama, Singapura mengecoh dengan bermain pada isu yang sangat detail,” tuturnya.

Menurut dia, bagi lawyer yang menegosiasikan sebuah perjanjian ada peribahasa yang selalu menjadi panduan yaitu ‘the devil is in the details’.

Dia menjelaskan maksud peribahasa ini adalah seorang lawyer dalam bernegosiasi harus bermain di level yang sangat detail untuk menang. Bila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail lantas akan menjadi makanan empuk.

“Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola karena mendapat pendelegasian,” beber Hikmahanto Juwana.

Hal tersebut diatur dalam detail perjanjian FIR terkait pendelegasian Indonesia ke otoritas penerbangan Singapura. Bahkan pendelegasian diberikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara.

“Ini berarti pemerintah Indonesia tidak memiliki cetak biru untuk melakukan pengambilalihan mulai dari infrastruktur yang dibutuhkan hingga sumber daya manusia yang mengoperasikan,” tegas Hikmahanto Juwana.

Kedua, ujarnya, kecerdikan Singapura adalah memaketkan perjanjian FIR dengan perjanjian pertahanan. Pemaketan seperti ini, lanjut dia, sangat merugikan di tahun 2007 saat perjanjian ektradisi ditandemkan dengan perjanjian pertahanan.

“Singapura tahu untuk efektif berlakunya perjanjian FIR maka selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi,” kata Hikmahanto Juwana menganalisis perjanjian itu.

Lantas, Singapura akan mensyaratkan pada Indonesia untuk melakukan secara bersamaan pertukaran dokumen ratifikasi kedua perjanjian sekaligus. Bila hanya salah satu, maka Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi dan karenanya perjanjian tidak akan efektif berlaku.

“Singapura berkalkulasi perjanjian pertahanan tidak akan diratifikasi oleh DPR mengingat menjadi sumber kontroversi pada tahun 2007 sehingga tidak pernah dilakukan ratifikasi,” ujar Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Bandung itu.

Dia menjelaskan bila hal ini kembali menjadi kontroversi saat ini dan akhirnya tidak diratifikasi oleh DPR, Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi perjanjian FIR.

Akibatnya Perjanjian FIR tidak akan berlaku efektif. Konsekuensinya adalah pengelolaan FIR tak pindah tangan ke Indonesia, melainkan tetap oleh Singapura.

“Kalaulah perjanjian pertahanan diratifikasi oleh DPR dan dokumen ratifikasi perjanjian FIR dan pertahanan dipertukarkan sehingga kedua perjanjian ini efektif berlaku, maka Singapura tetap mengelola FIR di ketinggian 0-37 ribu kaki atas dasar pendelegasian sebagaimana diatur dalam perjanjian FIR,” terang Hikmahanto Juwana.

“Bahkan Singapura mendapat satu keuntungan lagi yaitu perjanjian pertahanan yang di tahun 2007 ditentang oleh banyak pihak di Indonesia bisa efektif berlaku,” pungkas Hikmahanto Juwana mengakhiri analisisnya.

Sebelumnya, Juru bicara (jubir) Menteri Koordinator Maritim dan Investigasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Jodi Mahardi memastikan Indonesia telah siap dan mampu menyelenggarakan jasa pelayanan penerbangan di wilayah flight information region (FIR) yang telah disepakati.

“Merespons komentar Prof Hikmahanto Juwana, dapat saya sampaikan apakah pendelegasian pelayanan jasa penerbangan ke Singapura pada area tertentu di sekitar Changi pada ketinggian 0-37.000 kaki kepada otoritas penerbangan Singapura ini menunjukkan Indonesia tidak atau belum siap melayani jasa penerbangan di wilayah itu?” kata Jodi, Rabu (26/1/2022).

Jodi menuturkan kerja sama tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan Indonesia. Dia menyebut pendelegasian jasa penerbangan lebih kepada keamanan dan keselamatan penerbangan.

“Saya bisa jelaskan bahwa kerja sama ini tidak ada kaitannya dengan kemampuan Indonesia. Indonesia sangat siap dan mampu menyelenggarakan jasa pelayanan penerbangan di wilayah FIR yang batasnya telah disepakati. Sekali lagi pendelegasian pelayanan jasa penerbangan lebih terkait dengan keamanan dan keselamatan penerbangan,” tutur dia. {detik}