News  

Sebut Suku di Papua Primitif dan Radikal, Film Produksi Polri Si Tikam Polisi Noken Banjir Kritikan

Polisi membuat film berjudul Si Tikam Polisi Noken, film ini menuai kritik karena diduga mengandung unsur rasisme terhadap orang Papua yang digambarkan sebagai suku yang primitif dan radikal.

Film yang diproduksi oleh Polda Papua ini rencananya akan tayang perdana pada tanggal 10 Februari 2022 serentak di bioskop seluruh indonesia.

Namun, trailer Si Tikam Polisi Noken berdurasi 1.39 menit yang dirilis sejak 28 Agustus 2021 itu dinilai rasis dan mendiskriminasi orang Papua.

“Di sini baru-baru ini terjadi konflik perang suku, salah satunya adalah Suku Waro dan Suku Wolagma, suku yang primitif dan radikal,” kata salah satu peran polisi di trailer tersebut.

Trailer film buatan sutradara Komisaris Besar Ade Djaja Subagja yang juga menjabat sebagai Kepala Biro SDM Polda Papua ini langsung menuai kritik dari netizen.

“Polisi Indonesia di Papua membuat film yang dianggap rasis dan tidak menghormati masyarakat adat. Seperti terlihat di trailer, masyarakat adat menggunakan busur dan anak panah. Bahkan salah satu petugas mengatakan mereka “primitif dan radikal”,” cuit @PokuaiSelviana sebagaimana diterjemahkan dari cuitan akun tersebut.

Kabid Humas Polda Papua, Kombes Ahmad Musthofa Kamal menjelaskan, film ini mengangkat kisah nyata saat perang suku di Papua yang diselesaikan dengan mengedepankan polisi dari putra asli Pegunungan tengah Papua untuk menjadi penengah antar suku.

“Salah satu tujuan film ini adalah untuk mempromosikan budaya Papua, khususnya yang ada di Pegunungan yang dikelilingi oleh hutan dan lembah, serta adat istiadatnya yang begitu unik dan mengangkat anak-anak dan generasi muda Papua untuk maju dan menggali potensi yang ada pada diri sendiri dengan menjadi abdi negara,” kata Kamal, Sabtu (5/2/2022).

Menurutnya film yang digarap sekitar dua tahunan ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran kepada masyarakat di Papua maupun diluar Papua tentang masalah di Papua yang sering terjadi perang suku karena ketidakpahaman masyarakat tentang permasalahan yang dihadapi.

Penyelesaian masalah suatu tindak pidana tidak hanya dilakukan melalui peradilan formal, di Papua penyelesaian suatu tindak pidana masih sering dilakukan dengan peradilan restoratif atau restorative justice melalui peradilan adat.

“Semoga film ini dapat memberikan pesan-pesan yang erat akan budaya dan tradisi serta kehadiran sosok polisi di tengah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi,” jelasnya.

Dia meminta seluruh masyarakat untuk tidak hanya melihat dari judul film tersebut melainkan makna dan pesan bahwa semua permasalahan dapat diselesaikan dengan cara baik-baik.

“Yang kita perlu lakukan iyalah pelajari dulu pemasalahan yang dihadapi sehingga tidak menimbulkan permasalahan lainnya,” imbuh Kamal. {suara}