News  

Tak Hanya Penurunan Plang Nama, Berikut Daftar Ancaman dan Persekusi Dakwah Muhammadiyah di Banyuwangi

Kasus penurunan paksa plang Muhammadiyah di sebuah masjid di Desa Tompo, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim) pada Jumat (25/2/2022), ternyata bukan yang pertama kali dialami organisasi masyarakat (ormas) Islam yang dirintis KH Ahmad Dahlan tersebut.

Tercatat ada belasan kasus lain yang menimpa Muhammadiyah dalam menyebarkan dakwah di wilayah paling timur Provinsi Jatim tersebut.

Menurut Kepala Desa Tampo, Hasim Ashari, kedatangannya bersama warga tidak ada niatan apapun. “Kecuali untuk memelihara ketertiban untuk menjaga ketentraman untuk menjaga kekhusyukan ibadah, dan lain sebagainya,” kata Hasim, Senin (28/2/2022).

Camat Cluring, Henri Suhartono menambahkan, pencopotan plang dilakukan berdasarkan keputusan Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimca).

Dia menyinggung jika ada undang-undang (UU) yang membuat plang nama itu harus dicopot, pertama masalah tata perizinan pendirian bangunan, dan kedua terkait kegiatan yang tak diinginkan warga sekitar.

“Untuk kondusivitas wilayah maka untuk sementara waktu tidak ada yang menghakimi antara ini dan itu. Sampai menunggu proses hukum lebih lanjut, monggo kalau proses hukum lebih lanjut,” ujar Henri tanpa bisa menjelaskan jika pencopotan plang harus berdasarkan keputusan pengadilan.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan penulis dari Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Banyuwangi, banyak kasus persekusi dan ancaman kekerasan yang dialami pengurus dalam berdakwah.

Berikut daftar kasus yang dihadapi Muhammadiyah dalam berdakwah di Bumi Blambangan, dalam bentuk tantangan, rintangan, singgungan, benturan, ancaman, penurunan papan nama, sepanjang 2000 sampai 2022.

1. Kasus di Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Peterongan, Desa Kebunrejo Kalibaru, perebutan tanah wakaf dan Masjid PRM Peterongan.

2. Penurunan papan nama Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) Glenmore di depan rumah Ketua PCM almarhum H Moh Amli.

3. Pemberian tanda silang merah di setiap pimpinan dan warga Muhammadiyah Genteng.

4. Penurunan papan nama PRM Banjarwaru, Banyuwangi oleh tokoh masarakat setempat.

5. Penolakan Jumatan di Masjid PRM Kaligung, Kecamatan Blimbingsari oleh masyarakat dengan kekerasan membawa pentungan menjelang Jumatan.

6. Penolakan pembangunan Pusat Dakwah Muhammadiyah (PDM) Singojuruh pada saat menjelang peletakan batu pertama yang dilakukan masarakat sekitar lokasi.

7. Ancaman pembakaran Rumah Sakit Islam (RSI) Fatimah oleh sekelompok orang yang menamakan pasukan berani mati dari kawasan Banyuwangi selatan.

8. Perangkat desa bersama masyarakat Desa Sraten, Kecamatan Cluring menolak pembangunan Masjid Pusdamu Al Furqon PRM Sraten dengan mempermasalahkan IMB. Posisi Muhammadiyah minoritas di Sraten.

9. Penolakan rencana pembangunan Pondok Anak kebutuhan khusus (ABK) Muhammadiyah oleh masyarakat belakang Hotel Aston Banyuwangi, dengan dalih demi kondusivitas warga yang tidak sejalan dengan dakwah Muhammadiyah.

10. Penurunan paksa papan nama PDM PRM Tampo Cluring dan PRA Tampo Cluring, TK ABA Tampo Cluring oleh sebagian warga masyarakat yang mendapat dukungan dari kepala desa Tampo dan Forpimka Cluring, dengan dalih masjid milik umum bukan milik golongan/Muhammadiyah.

Dari kasus per kasus tersebut di atas jika ditarik kesimpulan didapat akar masalahnya. “Penyerobotan aset wakaf yang tidak tertulis jelas peruntukannya, ingin menguasai aset dan memindahkan kepemilikannya ke pribadi atau org lain,” demikian keterangan PDM Banyuwangi.

“Dakwah Muhammadiyah yang tiada henti, semarak, dan mendapat banyak pengikut, pendukung adalah ancaman ketidaknyamanan secara pengaruh ketokohan lokal, ekonomi dan politik lokal,” begitu penjelasan PDM Banyuwangi.

Selain itu, kebencian secara turun-temurun, baik kultur maupun struktur di lokal masyarakat karena merasa terancam kedudukan ketokohannya dan pengaruhnya.

Sehingga mereka harus melakukan pengadangan dakwah Muhammadiyah secara masif lewat kekuatan masyarakat lokal dan pejabat setempat.

Tidak hanya itu, lembaga pendidikan, amal usaha kesehatan, panti asuhan, Lazismu, pengajian Ahad pagi (PAP), Pusat Dakwah Muhammadiyah, taman pendidikan Alquran (TPA), taman pendidikan Quran (TPQ).

Perguruan tinggi, pendirian pusat keunggulan, Surya Mart, aset Muhammadiyah lainya, menjadi kecemburuan sosial. Hal itu menimbulkan kedengkian dan ketidaknyamanan bagi mereka yang sudah sejak awal menunjukkan sikap ketidaksenangan.

“Kepentingan politik lokal menjadi penyerta dan penumpang kepentingan sesaat memanfaatkan kelompok lain menciptakan kondisi keruh dan memanfaatkan kelompok anti kemapanan untuk cari muka, cari pengaruh, dan lain-lain,” demikian keterangan PDM Banyuwangi. {republika}