News  

Krisis Ekonomi Sri Lanka Hancur-Hancuran, Gagal Bayar Utang Rp.729 Triliun

Kondisi Sri Lanka sangat mengkhawatirkan. Di tengah krisis ekonomi yang melanda, negara ini dihadapkan pada masalah gagal bayar utang luar negeri sebesar US$ 51 miliar atau setara dengan Rp 729 triliun (asumsi kurs Rp 14.300).

Situasi di Sri Lanka juga tak kondusif. Gelombang protes mewarnai krisis Sri Lanka, yang menuntut pemerintah mundur. Kekurangan makanan dan bahan bakar parah serta pemadaman listrik yang panjang membawa penderitaan pada 22 juta orang di negara itu.

Kemarahan publik terbakar dalam beberapa pekan terakhir dengan berusaha menyerbu rumah para pejabat pemerintahan. Sedangkan pasukan keamanan membubarkan pengunjuk rasa dengan gas air mata dan peluru karet.

Kementerian Keuangan Sri Lanka mengatakan telah gagal membayar semua utang luar negeri, termasuk pinjaman dari pemerintah asing menjelang dana talangan IMF.

“Pemerintah mengambil tindakan darurat hanya sebagai upaya terakhir untuk mencegah penurunan lebih lanjut dari posisi keuangan,” bunyi pernyataan kementerian dikutip dari NDTV, Rabu (13/4/2022).

Kreditur bebas membebankan bunga apa pun kepada Sri Lanka atau memilih pembayaran utang dalam mata uang rupee Sri Lanka.

Krisis ekonomi Sri Lanka dimulai dari ketidakmampuan mengimpor barang-barang penting setelah pandemi COVID-19, menekan pendapatan dari pariwisata, dan pengiriman uang.

Pemerintah memberlakukan larangan impor yang luas untuk menghemat cadangan devisa dan menggunakannya untuk membayar utang yang kini gagal bayar.

Para ekonom mengatakan krisis diperburuk oleh pemerintah yang salah urus, akumulasi utang, dan pemotongan pajak yang salah.

Kekecewaan publik terhadap pemerintah meluas. Warga Sri Lanka harus antre panjang untuk membeli bensin, gas, dan minyak tanah yang langka untuk memasak. Ribuan orang berkemah di luar kantor presiden dan menyerukan agar mundur. {detik}