Timnas Indonesia Lolos ke Piala Dunia Sepak Bola Amputasi: Dilepas Dalam Sunyi, Pulang Bawa Prestasi

Tiga tahun yang lalu, Muhammad Shidiq Bashiri atau Bahir, bermimpi untuk bisa berlaga di ajang sepak bola internasional. Kini, Bahir berhasil mewujudkan mimpi itu.

Bahir merupakan salah satu punggawa yang berhasil membawa Tim Nasional Sepak bola Amputasi untuk pertama kalinya lolos ke Piala Dunia 2022 yang akan digelar di Turki pada Oktober.

Pada Rabu (30/3), Bahir dan rekan-rekan satu timnya unjuk gigi dalam laga uji coba melawan tim dari komunitas non-disabilitas di Jakarta.

Di tengah lapangan hijau, Bahir tampak lincah menggocek, mengoper, dan menendang bola meski dengan satu kaki.

Dia menggunakan dua tongkat sebagai penopangnya ketika berlari. Begitu pula dengan rekan-rekan setim lainnya.

Meski pertandingan sore itu berakhir dengan kekalahan, tim yang juga dikenal dengan nama Garuda Inaf ini berhasil menunjukkan keberanian dan daya juang mereka.

Menurut Bahir, ini pula yang menjadi modal utama mereka sampai akhirnya lolos ke Piala Dunia.

Padahal tim yang mereka hadapi seperti Malaysia dan Jepang jauh lebih berpengalaman di ajang internasional.

Mereka bisa tampil dengan percaya diri, mengalahkan rasa minder setelah selama ini kerap diremehkan dan diabaikan.

Bagi Bahir pribadi, semangatnya terus membara tiap kali mengingat nasehat pelatih pertamanya di Jember yang meneguhkan bahwa dia setara dengan para punggawa Timnas Indonesia.

“Waktu itu coach bilang, ‘Kamu tahu Asnawi Mangkualam?’, ‘Iya coach’. ‘Sampean tahu Evan Dimas?’ Saya jawab, ‘Iya tahu’.

“Coach bilang, ‘Levelmu itu sama dengan dia, karena kamu sudah lolos ke Timnas dan ini menuju ke kualifikasi, itu sama-sama bela negara, itu kelasnya sama’,” kenang Bahir.

“‘Walaupun kamu amputasi, tapi yakinlah bahwa garudamu itu tetap dua sayap, bukan satu sayap.’ Waktu (dengar) itu saya nangis,” katanya.

Sayangnya sampai saat ini, tim Garuda Inaf belum mendapat dana dan fasilitas layaknya sebuah tim nasional.

‘Dengan sepak bola kami dikasih mimpi’
Bahir, yang kini berusia 23 tahun, terlahir dengan satu kaki. Sejak kecil dia gemar bermain sepak bola bersama teman sebayanya di Jember, Jawa Timur.

Lapangan sepak bola pertama bagi Bahir adalah halaman depan rumah tetangganya.

“Kalau ketahuan sama orang itu (tetangga) ya saya dimarahi, karena pasti hancur saya kan pakai hand grip dari kayu, itu bobotnya sekitar dua sampai tiga kilogram, jadi pasti hancur.

Akhirnya ‘ya boleh main sepak bola, tapi kamu (Bahir) jangan,” kenang Bahir sambil tertawa.

Bahir berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai pengumpul batu gamping.

Semasa kecil hingga remaja, Bahir tak pernah terpikir untuk menjadi pesepak bola profesional.

Dia bahkan tak berani bermimpi untuk berlaga di Piala Dunia.

Jalannya mulai terbuka ketika Bahir bergabung dengan klub sepak bola amputasi di Jember, Persaid, pada 2019. Saat itu lah Bahir menemukan mimpinya di lapangan hijau.

“Kalau amputasi itu pasti bingung ke depannya gimana karena cari kerjaan aja sulit, tapi dengan sepak bola ini kita dikasih mimpi dan diajarkan jadi pesepak bola profesional,” ujar penggemar Lionel Messi ini.

Satu tahun dia berlatih tanpa ada pertandingan, tanpa digaji. Sampai akhirnya Bahir berhasil lolos seleksi menjadi pemain Tim Nasional.

Statusnya menjadi pemain Timnas tidak serta-merta membuat perjalanan Bahir lantas mudah.

Sebab, Tim Garuda Inaf sendiri pun dalam kondisi yang serba terbatas.

Sebelum berangkat ke Jakarta untuk berlatih menuju babak kualifikasi Piala Dunia, Bahir harus berutang Rp1.000.000 untuk persiapan membuat paspor hingga ongkos perjalanan.

Bahir pernah terpaksa menggunakan sepatu yang sempit, sehingga kakinya lecet.

Akhirnya Bahir pun urunan dengan rekan satu timnya, Muhammad Lucky, untuk membeli sepasang sepatu.

Bahir menggunakan yang kiri, sedangkan Luki menggunakan yang kanan.

Bahkan sampai saat ini pun, tidak ada gaji tetap untuk para pemain Garuda Inaf.

Di luar sepak bola, Bahir menggantungkan hidupnya dengan berjualan voucher internet.

“Maklum perjuangan kami masih baru jadi mungkin harus rela berkorban banyak. Namanya hobi sepak bola ya tetap bertahan,” kata dia.

‘Sepak bola itu untuk semua’
Aditya, 24, meniti karirnya sebagai pesepak bola di Persib U-17 pada 2014.

Dalam sebuah pertandingan persahabatan antar-kampus di Bandung pada 2017, Aditya mengalami patah tulang setelah kakinya ditekel sangat keras oleh pemain lawan.

Cedera yang dia alami kemudian ditangani dengan pengobatan alternatif, tanpa penanganan medis yang tepat selama dua tahun.

Kondisi kaki Aditya pun memburuk sampai harus diamputasi. Selama dua tahun Aditya tidak bisa beraktivitas dan merasa karirnya sebagai pesepak bola akan tamat.

Dia akhirnya memilih diamputasi pada 2019.

“Seenggaknya kalau saya diamputasi, saya bisa bangun dan melanjutkan hidup lagi walaupun dengan satu kaki,” kata Adit kepada BBC News Indonesia.

“Waktu itu juga sempat terpikir saya enggak bisa main bola lagi, karena saya enggak tahu ada sepak bola amputasi ini,” lanjut dia.

Padahal bagi Aditya, sepak bola adalah “panggilan jiwa”. “Ada yang kurang rasanya kalau enggak main bola,” tuturnya.

Aditya kemudian diberitahu temannya mengenai sepak bola amputasi dan tertarik mencoba berlatih.

Dia mengaku kesulitan pada awalnya. Sebab, sepak bola amputasi memiliki aturan yang berbeda dengan sepak bola non-disabilitas.

Pada sepak bola amputasi, setiap pemain harus menggunakan dua tongkat penopang sebagai tumpuan saat bermain.

Satu tim terdiri dari tujuh orang, bukan sebelas. Ukuran lapangannya juga lebih kecil dengan durasi pertandingan dua kali 25 menit.

“Saya harus mengulang lagi dari dasar, nendang bola pakai tongkat bagaimana, sulit pas awalnya.

Saya cuma bisa jalan cepat dengan tongkat, setiap hari latihan gimana caranya saya bisa lari. Lama-lama saya bisa dan ada motivasi lagi untuk main bola lagi,” ujar Aditya.

Kepercayaan diri Aditya pun perlahan bangkit. Dia kemudian lolos seleksi Tim Nasional Sepakbola Amputasi dan kini menyandang ban kapten.

Bagi Aditya, bisa berlaga di Piala Dunia terasa seperti mimpi. Ini adalah sesuatu yang bahkan tidak berani dia impikan ketika bermain di tim non-disabilitas.

Kini, Aditya berharap timnya bisa meraih hasil yang baik dalam Piala Dunia. Di luar itu, Aditya bercita-cita mendirikan sekolah sepak bola amputasi.

“Banyak orang yang diamputasi bahkan sejak usia dini ingin main bola, tapi enggak ada wadah dan pembinaannya, kan sayang,” kata Aditya.

“Padahal mereka bisa membanggakan keluarga walau ada keterbatasan. Seperti tim ini yang sudah membuktikan kalau siapa saja bisa memainkan sepak bola.

Sepak bola itu untuk semua, enggak ada itu diskriminasi dan perbedaan,” tutur dia.

Dilepas dalam sunyi, kembali dengan prestasi
Rusharmanto Sutomo tak kuasa menahan air mata ketika pada pertengahan Maret lalu, dia melepas keberangkatan tim Garuda Inaf menuju Bangladesh untuk mengikuti kualifikasi Piala Dunia.

Pelepasan itu terasa begitu sunyi, berbeda dengan pelepasan tim-tim olahraga lainnya ketika hendak mewakili negara dalam ajang olahraga bergengsi.

“Di tengah prestasi yang bisa dibilang sejarah sepak bola, pelepasannya itu sepi, di tengah kesunyian,” kata Sutomo.

Sutomo merupakan salah satu pendiri tim Garuda Inaf pada 2018, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Sepakbola Amputasi Indonesia (PSAI).

Sebelum ke Bangladesh, PSAI pontang-panting mencari dana.

Kondisi tim memang serba terbatas, jauh dari fasilitas yang selayaknya didapatkan oleh sebuah tim nasional.

Setiap musim latihan, para pemain menginap di mes milik Sutomo yang berlokasi di kawasan padat penduduk di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Terdapat tiga kamar di mes itu, sedangkan jumlah pemain dan anggota tim yang menginap mencapai 20 orang.

Terkadang sebagian harus tidur di lantai beralas kasur tipis atau karpet.

Tidak ada bus khusus untuk keberangkatan tim menuju tempat latihan. Biasanya mereka konvoi menggunakan sepeda motor, mengesampingkan risiko yang bisa menimpa di jalan.

Selepas latihan, mereka terbiasa makan bersama di warteg. Tidak ada menu khusus atlet dengan asupan gizi yang ditakar.

Keberangkatan ke Bangladesh pun akhirnya terwujud setelah ada bantuan dari sejumlah pihak.

Itu pun mereka masih harus berutang pada agen perjalanan dan saat ini masih mengumpulkan dana untuk menggantinya.

“Bahkan teman-teman itu transit di Malaysia minum satu botol air untuk 18 orang pemain, diputar, karena anggarannya sudah tipis benar untuk beli sesuatu, untuk makanan enggak cukup,” kenang Sutomo.

“Dengan serba kekurangan, teman-teman itu membuktikan komitmen mereka untuk bermain sebaik-baiknya.

Walaupun kita punya keterbatasan, kita enggak mau kalah dengan teman-teman yang orang bilang dalam kondisi komplit,” tuturnya.

Setelah lolos ke putaran final Piala Dunia, tim Garuda Inaf berharap pemerintah bisa memfasilitasi mereka.

Apalagi, Kementerian Pemuda dan Olahraga turut menargetkan agar Garuda Inaf bisa mencapai 10 besar dalam Piala Dunia nanti.

“Kita sih semua pemain optimistis (dengan target) itu, yang penting yang kami butuhkan saat ini sarana dan prasarana yang lebih dari sebelumnya,” ujar Tomo.

Tak ada anggaran khusus, hanya penyambutan
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali sebelumnya menjanjikan dukungan bagi Tim Garuda Inaf berupa tempat latihan, transportasi, hingga nutrisi menjelang Piala Dunia.

Tetapi sejauh ini, dukungan itu belum terealisasi.

Sekretaris Menteri Pendidikan dan Olahraga, Joni Mardizal justru mengatakan belum ada anggaran khusus untuk akomodasi para pemain Garuda Inaf.

Bentuk perhatian pemerintah sejauh ini, kata dia, baru sebatas pelepasan dan penyambutan bagi tim.

“Kalau bentuk dukungan, dengan kehadiran Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga saat pelepasan dan menyambut kedatangan mereka itu salah satu bentuk perhatian.

Tapi secara finansial mungkin karena keterbatasan anggaran kita belum dianggarkan khusus untuk itu,” kata Joni kepada BBC News Indonesia.

Ingin setara dengan tim non-disabilitas
Bagi Bahir dan rekan-rekan satu timnya, berlaga di Piala Dunia 2022 adalah langkah awal menuju mimpi mereka yang lebih besar: mencapai posisi yang setara dengan tim non-disabilitas.

Mereka mendambakan suatu saat nanti muncul lebih banyak klub di berbagai daerah di Indonesia, sehingga bisa membentuk kompetisi sendiri seperti Liga 1 Indonesia.

Dengan demikian, mereka juga terus bisa mengasah kemampuan mereka di lapangan hijau.

“Mimpi kami supaya sepak bola amputasi ini berkembang seperti sepak bola non-disabilitas, liganya berkembang, ada anggaran pembinaan dari Timnas sampai ke daerah-daerah, jadi sepak bola ini bisa menjadikan hidup difabel lebih baik,” kata dia.(Sumber)