News  

Soal Perppu Cipta Kerja, 13 Serikat Pekerja Gugat Jokowi dan DPR ke PTUN

Sebanyak 13 serikat pekerja didampingi INTEGRITY Law Firm menggugat Presiden Jokowi dan DPR ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait Perppu Cipta Kerja. Pendaftaran gugatan tersebut dilakukan pada hari ini, Rabu (1/2).

Ke-13 serikat pekerja tersebut yakni:

Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional;
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan;
Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia;
Gabungan Serikat Buruh Indonesia;
Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia;
Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia;
Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (PELITA) Mandiri Kalimantan Barat;
Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92; dan
Federasi Serikat Pekerja Kependidikan Seluruh Indonesia – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.

Gugatan tersebut diajukan kepada presiden dan DPR karena dinilai tidak melaksanakan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil UU Cipta Kerja.

Putusan tersebut terkait perintah untuk melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja. Namun, pemerintah malah kemudian mengeluarkan Perppu.

Kuasa hukum 13 serikat pekerja, Denny Indrayana, mengatakan tindakan presiden dan DPR dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah (Onrechmatige Overheidsdaad/OOD).

Sebab, sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jenis perkara OOD menjadi kewenangan PTUN sepenuhnya dari yang sebelumnya adalah kewenangan Pengadilan Negeri.

“Oleh sebab itu, Gabungan Serikat Pekerja ramai-ramai gugat Presiden dan DPR ke PTUN,” kata dia.
Denny menyebut, bahwa tindakan presiden dan DPR yang tidak melaksanakan amar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu, bukan saja bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun juga bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

“Memang sejak awal UU Cipta Kerja ini sudah bermasalah, mulai dari proses pembentukannya yang relatif cepat dan tidak partisipatif, serta kesalahan ketik yang berdampak terhadap kesalahan substansi. Fenomena tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa terhadap UU Cipta Kerja perlu dilakukan perbaikan,” kata Denny.

Ketua Umum Gabungan Serikat Pekerja, Jumhur Hidayat mengatakan, jika membaca ulang putusan MK, presiden dan DPR diminta melakukan perbaikan UU Cipta Kerja. Sebab, UU tersebut dinilai bermasalah. Terutama soal proses pembentukannya yang tidak melibatkan partisipasi publik di dalamnya.

Jumhur menyebut bahwa perintah dari putusan MK tersebut justru dijawab oleh pemerintah dengan menerbitkan sebuah produk hukum baru, yakni Perppu Cipta Kerja.

“Aneh tapi nyata, Presiden yang merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan seharusnya paham akan situasi seperti ini, begitu juga dengan DPR. Tetapi memang sejak awal (Presiden dan DPR) tidak ingin mengindahkan putusan MK, maka dengan seenaknya putusan MK tersebut mereka abaikan,” ungkapnya.

Senada, Denny menegaskan bahwa sikap presiden dan DPR jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap Mahkamah Konstitusi. Pelecehan dimaksud karena berani menentang amar putusan MK.

“Sangat mudah untuk dibaca, bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut adalah untuk menghindari ruang dialog yang rumit. Dengan kata lain, Perppu yang dilahirkan oleh pemerintah (Presiden) lebih mencoba untuk menghindari proses pembahasan ditingkat stakeholder, khususnya terhadap beberapa pihak yang secara langsung terdampak,” pungkas Denny.

Dikutip dari situs PTUN Jakarta, gugatan itu sudah tercatat dengan nomor perkara 30/G/TF/2023/PTUN.JKT. Presiden dan DPR menjadi pihak Termohon.

Ada setidaknya empat poin pertitum dalam gugatan tersebut, yakni:

Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan administrasi pemerintahan Tergugat yang bersifat negatif (pasif/omission) berupa tidak melaksanakan (absen) amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berupa perintah untuk melakukan perbaikan atas Undang-Undang Cipta Kerja merupakan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah (onrechmatige overheidsdaad);

Memerintahkan kepada Tergugat untuk melaksanakan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berupa perintah untuk melakukan perbaikan atas Undang-Undang Cipta Kerja; dan
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.

Beberapa hari yang lalu, 13 serikat pekerja yang didampingi Denny Indrayana itu menggugat soal perppu tersebut ke MK. Alasan gugatan, mereka meyakini Presiden Jokowi keliru dan melanggar konstitusi saat menerbitkan Perppu tersebut secara formil.(Sumber)