News  

Sampah Jakarta, Sampan Masa Depan

Dari Rembug Sampah 2023 yang diadakan di Rumah Susun Cakung, Jakarta Timur, terpapar begitu besar persoalan sampah yang dihadapi warga Jakarta. Uraian sejumlah stakeholders juga datang dengan data pengelolaan sampah di sejumlah negara, termasuk Turki yang kini sedang berhadapan dengan gempa bumi dahsyat. Kebetulan, tanggal 21 Februari ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.

Seingat saya, pengalaman masa kecil terkait sampah, kekumuhan, dan bau, adalah ketika menginap di rumah saudara di Kota Padang. Tepatnya, di rumah nenek saya, ibu kandung dari Sidi Bobby Piliang. Berlacah (becek), mampet, dan memicu masalah kesehatan. Berhubung sejak lahir tinggal di lingkungan yang banyak air, baik laut, sungai, atau danau, sampah tak jadi masalah saya.

Ketika merantau ke Jakarta di usia 19 tahun, sampah dalam pemandangan keseharian Jakarta adalah timbunan di 13 aliran sungai. Saya pertama kali tinggal di pinggir kali Jalan Kunir, di hilir Kampung Susun Kunir. Ada gudang tua sejak zaman Belanda yang menutupi kampung itu. Di gudang itulah saya menaruh gerobak Sate Padang Petak IX Pancoran, Glodok, milik almarhum Haji Kambaruddin, kakek saya. Tak lama, kampung kecil itu kena gusur. Kami pindah ke Balokan, dekat Stasiun Jakarta Kota. Tetap di Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari.

Setelah menikah dan menjadi menantu warga Talib III, Kelurahan Krukut, Kecamatan Tamansari, tiap hari saya makin akrab dengan sampah. Kebetulan, terdapat Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di pinggi Kali Krukut. Warga di pinggir kali, juga bekerja memilah-milih sampah. Setiap kali mobil kami keluar-masuk gang, sudah pasti berhadapan dengan karung-karung goni sampah hasil pilahan.

Makanya, saya sumringah ketika Gubernur Ahok berhasil memasukkan Si Bego (istilah untuk traktor) ke dalam kali-kali di Mangga Besar, hingga Jalan Kunir, sebelum macet di Kampung Aquarium. Lumpur digali, sampah di dalamnya.

Ketika mahasiswa, saya sering berinteraksi dengan Letjen (Purn) Kemal Idris. Dia menyebut diri sebagai Jenderal Sampah. Jenderal reformis dan kritis ini mendapatkan “proyek” sampah dari sejumlah gubernur yang berlatar belakang militer. Sebagai aktivis dan mahasiswa ilmu sejarah, saya tentu lebih senang mendengar cerita Kemal terkait peristiwa heroik di masa lalu, tinimbang bicara soal sampah. Cerita untuk menulis skripsi, terutama. Aktivitas Kemal tentang sampah hanya saya baca di media.

*

Dalam acara di Cakung, saya bercerita tentang mimpi besar menjadikan 13 aliran sungai di Jakarta sebagai sampan-sampan pengorganisasian tentang sampah. Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) di Jakarta, pertama kali diorganisir oleh tentara Pendudukan Jepang dengan nama Sistem Tonarigumi. Sistem ini ditujukan untuk memastikan medan perang di garis depan tak kehabisan logistik, baik berupa pangan, senjata, hingga sumberdaya manusia. Perang Asia Timur Raya yang dihadapi Jepang, tentu serdadu-serdadu Sekutu.

Sistem ini hanya bertahan seumur jagung, seperti nubuat Jayabaya. Jepang kalah, organisasi Tonarigumi remuk, berubah menjadi laskar rakyat, bandit, preman, pelacur, hingga tentara profesional.

Kini, saya tak terlalu paham lagi dengan Sistem RT RW yang ada di Jakarta yang diduplikasi secara nasional. Idealnya, organisasi semacam ini layak dikubur, usai Perang Dunia Kedua itu. Yang ada, sistem RT RW lebih membawa karakter sebagai negara polisi, “Tamu 1 x 24 Jam Wajib Lapor”.

Toh dengan kemajuan manusia dan teknologi yang digunakan, karakter negara polisi inipun sudah berganti menjadi negara demokrasi +62 yang bergerak 24 jam di dunia maya. Netizen menjadi Pak RT, dalam memberikan penilaian terhadap apapun yang dimaksud “tamu” atau nilai-nilai asing atau berbeda.

Dalam pandangan saya, sistem pengorganisasi model Tonarigumi, bisa diterapkan dalam menangani masalah sampah di Jakarta. Dan sistem ini menjadikan aliran sungai sebagai medan perang, sekaligus garis depan. Organisasi semi militer ala Tonarigumi digunakan untuk mengangkut korban-korban yang sekaligus musuh utama di lini depan, yakni sampah yang berada di aliran sungai.

Dengan mayoritas sungai di Jakarta yang sudah dinormalisasi alias ditembok, tinggal dibikin “barak-barak perang” di atas aliran sungai itu, baik secara melintang, menyilang, atau membujur. Dari dalam sungai, pinggir sungai, hingga jauh ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tersusun organisasi. Tak masalah, kalau nama yang diberikan mirip militer: kompi, peleton, hingga regu.

Barak-barak itu bisa menjadi area bermain anak-anak, di waktu sabtu dan minggu. Juga bisa menjadi area parkir jutaan kendaraan bermotor yang menyemak di rumah-rumah petak penduduk yang gagal digapai matahari. Cara lain, dipakai menjadi tempat melangsungkan pesta pernikahan yang kini banyak menutupi jalan, ketika sabtu dan minggu. Bayaran yang dipungut untuk masing-masing kegiatan itu, bisa digunakan guna melakukan perawatan atau modernisasi. Bank-Bank Sampah menjadi relevan dan fungsional.

Sebagai fungsionaris Partai Golkar yang maju di Daerah Pemilihan Jakarta Barat yang meliputi Kecamatan Tamansari, Kecamatan Grogol Petamburan, Kecamatan Palmerah, Kecamatan Duri Kembangan, dan Kecamatan Kebon Jeruk, saya melihat ada irisannya.

Sungai-sungai yang menganga, seakan kemewahan, kemegahan, dan keangkuhan Jakarta yang tanpa nyawa, di tengah warga yang menyemut dan tinggal di rumah-rumah tak layak huni, lahan parkir terbatas, ruang bermain anak-anak yang hampir tak ada, serta area publik tempat interaksi warga dewasa yang mahal.

*

Pertanyaan lanjutan tentu datang. Bukankah normalisasi (kanalisasi) sungai di Jakarta Raya bertujuan untuk mencegah banjir?

Sangat berbahaya, jika “barak-barak perang” itu diterjang banjir besar yang bisa saja – dengan peluang sekali setahunkah? – datang. Teknologi bisa mengatasi. Antara lain, barak-barak perang yang liat, kuat, tapi bisa mengapung. Pipa-pipa panjang yang terhubung hingga ke pulau-pulau tak berpenghuni, lalu dibangun lubang-lubang logam berputar guna menjadikannya limbah yang didaur ulang jadi pupuk.

Tentu, supaya sama sekali tak berimajinasi, saya kembalikan lagi ke sistem Tonarigumi tadi. Yakni, kita bisa belajar ke sejumlah negara dalam pengendalian sampah. Orang Jepang terkenal dengan kebersihannya. Walau, air melimpah untuk Motor GP, hanya ada di Mandalika. Pemain sepakbola dunia ditakjubkan dengan hotel yang kaya air, bahkan toilet yang tak punya kertas, tetapi air, selama Piala Dunia di Qatar.

Namun, Jepang tetap yang terdepan dalam soal kebersihan. Dasarnya, Santoisme. Bagi pembaca buku Ruth Benedict, Pedang Samurai dan Bunga Seruni, tentu paham ini. Religi Tokugawa-lah yang memunculkan nilai-nilai itu, sebagaimana juga spirit dan passion dari Lee Kuan Yew yang rajin menyapu jalanan Singapura, ketika orang Singapura masih berada dalam strata teratas manusia paling sering meludah di dunia.

Sungguh, kita tak perlu belajar religi ke Jepang atau China. Kitab-Kitab Suci dari Agama Samawi sudah lebih dari cukup guna dipedomani. Tetapi, pengorganisasian terkait sampah ini, patur dipelajari di Jepang, China, atau Singapura.

Saya curiga, sekalipun Sistem Tonarigumi gagal dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya, tetapi sistem itulah yang mampu menanggulangi masalah sampah di Jepang. Ditambah perjalanan Jepang yang lumayan lama, setelah Restorasi Meiji yang menyebabkan kaum samurai kehilangan pengaruh dan kuncir rambut panjangnya dipotong, semakin hebat, detil, dan kuat bagai beringinlah sistem itu.

Dari pengorganisasian itu, telah lahir orang kaya baru bernama Fumeo Kaneko. Perusahaan pengelolaan dan daur ulang limbah bernama Daiei Kankyo yang berpusat di Kobe – yang tahun 1983 dilanda gempa dahsyat – pada tahun 2022 saja meraup U$D 315 Juta dalam IPO. Kekayaan Kaneko ditaksir U$1 Milyar, atau Rp. 15 Trilyun. Betul, teknologi yang digunakan. Tetapi algoritmanya tetaplah berasal dari pengorganisasian ide.

Dalam bayangan saya, siapapun manusia Jakarta yang berlumpur dengan garis depan sampah di sungai, bakal menjadi pahlawan di masyarakatnya, apapun kelas sosial mereka. Bukan jijik, apalagi menyerahkan saja kepada “tentara rakyat” seperti petugas pemungut sampah yang kita lihat setiap saat itu. Jika ini berhasil, tentu lewat regulasi di Jakarta Raya nanti, 13 sungai yang mengaliri Jakarta tidak lagi dilihat sebagai mahkluk tanpa nyawa, tetapi sampan-sampan raksasa yang membawa warga Jakarta menuju karmanya.

Markas Gerilyawan, Wisma Kemayoran, Rabu, 22 Februari 2023.

#HariRabuHariMenulisJakartaRaya

#AirlanggaHartartoPresiden

#AhmedZakiIskandarGubernur #IJP_4_Legislator

Oleh

Indra Jaya Piliang, Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara {golkarpedia}