News  

Sindikat Jual Beli Ginjal Indonesia-Kamboja Pakai RS Pemerintah Yang Dijaga Militer

Sindikat jaringan jual-beli ginjal Indonesia-Kamboja menggunakan rumah sakit (RS) milik pemerintah Kamboja yang dijaga ketat oleh militer, sebagai tempat transplantasi pendonor ginjal.

Hal ini diungkapkan oleh Hanim (41 tahun), pria asal Subang yang tadinya hanya pendonor ginjal namun kini menjadi koordinator dari sindikat tersebut. “Rumah sakit militer pemerintahan,” kata Hanim saat dijumpai di Polda Metro Jaya pada Jumat (21/7).

RS tersebut berlokasi di Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh. Namanya adalah Preah Ket Mealea. Di lantai 3 RS tersebut calon pendonor ginjal bertemu dengan calon penerimanya.

Hanim menceritakan sebelum para pendonor diberangkatkan ke Kamboja, para pendonor ditampung di rumah kontrakan di Bekasi. Mereka baru diberangkatkan setelah ada panggilan dari RS tersebut.

“Setelah di sana sudah siap, RS sudah siap, kita berangkatkan ke RS dan tinggal di sana di lantai 3, medical check-up semua di sana kan otomatis ada pencocokan DNA. Darah kalo cocok kita akan pertemukan pasiennya,” jelas Hanim.

Operasi pun dapat berlangsung setelah jadwal pelaksanaanya disepakati. Dalam sehari, sebanyak 2 pendonor ditangani. “Sepengetahuan saya yang mengatur operasi dari negara China. Benar atau tidak nama yang saya tau Prof Chen. Kalau dokternya ada dari Vietnam, Kamboja, dan China,” tutur Hanim.

“Ruangan pasien-pasien RS biasa kelas-kelasnya kelas 3. 1 kamar bisa 5-6 orang untuk jaga di bawah ada banyak tentara. [Ruangan observasi usai operasi] Ada di lantai 4, ruangan khusus tidak boleh ada yang jenguk sembarangan,” sambungnya.

Hanim mengaku, paling lama, dari menuju operasi hingga penyembuhan, paling lama bisa memakan waktu selama 1 bulan. Para pendonor ini mendapatkan uang sebesar Rp 135 juta dari ginjal yang diberikannya.

Alasan Hanim Pilih Kamboja

Hanim memilih Kamboja sebagai lokasi tempat sindikatnya beroperasi latar belakang pengalaman dirinya yang sebelumnya juga sebagai pendonor pada Juli 2019, ia menjadi koordinator pada September 2019 hingga sebelum tertangkap pada Juni 2023.

Selain itu dia juga mengaku bahwa rumah sakit tersebut cukup peduli terhadap pendonornya. Rumah sakit yang tidak ribet juga, katanya.

“Itu rumah sakit yang paling enggak ribet, tambah lagi rumah sakit itu ‘bener-bener’. Ibaratnya ada pendonor sudah sampai 6-7 bulan pulang ke Indonesia itu masih ditanyakan gimana keadaan mereka. Apa baik-baik saja atau gimana,” ujarnya.

Rumah sakit tersebut juga membantu sindikat Hanim dalam mencari calon pendonor. Sejumlah saran juga disampaikan pihak rumah sakit saat membantu Hanim. “Kalau bisa (calon pendonor) antara teman atau gimana lah yang kenal, jangan-jangan sampai cari-cari di Facebook atau media sosial (orang asing),” terang Hanim.

Bahkan saat penyaringan melalui tes pemeriksaan medis, karena cukup ketatnya, tak sedikit dari rombongan yang dibawa Hanim banyak yang tidak lolos. Imbasnya, Hanim mengaku jadi harus menanggung kerugian hingga ratusan juta.

“Utang saya ke rumah sakit itu sebesar Rp 700 juta lebih. Jadi kalau dihitung-hitung itu Enggak ada. Saya enggak ada,” ujar Hanim. {sumber}