Sebagian besar bisnis Prajogo Pangestu, orang terkaya nomor 2 di Indonesia saat ini, bergerak di sektor energi, seperti industri petrokimia, batu bara, dan sebagainya.
Dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia per Desember 2024 dari Forbes, terlihat bahwa Hartono bersaudara kembali mengokohkan posisinya sebagai orang paling kaya nomor 1 di Indonesia, dengan total kekayaan bersih senilai US$50,3 miliar atau Rp813,4 triliun.
Sebagian besar orang mungkin sudah tahu, Hartono bersaudara merupakan pemilik Djarum Group, salah satu perusahaan konglomerat terbesar di Indonesia.
Sementara itu, orang terkaya kedua di Indonesia berada di tangan Prajogo Pangestu dengan total kekayaan US$32,5 miliar atau sekitar Rp525,56 triliun.
Nama Prajogo Pangestu mungkin tidak seterkenal Hartono bersaudara. Hal ini membuat sebagian besar orang awam bertanya-tanya, apa bisnis yang dimiliki Prajogo Pangestu hingga membuatnya berhasil menjadi orang terkaya nomor 2 di Indonesia?
Mengenal Sosok Prajogo Pangestu
Prajogo Pangestu merupakan pria kelahiran Bengkayang, Kalimantan Barat, pada 13 Mei 1944. Ia memiliki nama asli Phang Djoen Phen dan merupakan keturunan Hakka, salah satu kelompok etnis Tionghoa Han di Tiongkok.
Pada dasarnya, Prajogo Pangestu terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Bahkan, ia hanya mampu mengenyam pendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) karena keterbatasan ekonomi keluarganya.
Namun, hal tersebut tidak mengecilkan semangat juangnya. Prajogo mulai mengadu nasib dengan bekerja sebagai supir angkutan umum jurusan Singkawang-Pontianak. Selain itu, ia juga membuka usaha kecil-kecilan dengan menjual bumbu dapur serta ikan asin.
Di tengah-tengah kesibukannya, Prajogo kemudian bertemu dengan seorang pengusaha kayu asal Malaysia, yakni Burhan Uray.
Kemudian, pada tahun 1969, Prajogo bergabung dengan perusahaan milik Burhan Uray, yaitu PT Djajanti Group.
Kariernya di sana terus berkembang pesat hingga ia dipercaya menjadi General Manager pada pabrik Plywood Nusantara, salah satu anak usaha Djajanti Group.
Setahun setelah menjabat sebagai GM Plywood Nusantara, Prajogo memutuskan untuk resign dan membangun bisnisnya sendiri.
Kala itu, ia meminjam dana dari bank untuk membeli perusahaan kayu yang mengalami krisis finansial, yaitu CV Pacific Lumber Coy.
Di tangan Prajogo, CV Pacific Lumber Coy akhirnya mulai membaik. Kemudian, perusahaan tersebut berubah nama menjadi PT Barito Pacific Timber yang sukses menjadi salah satu perusahaan kayu terbesar di Indonesia di era orde baru.
Gurita Bisnis Prajogo Pangestu
Bisnis Prajogo Pangestu bergerak di sektor industri kayu di bawah naungan perusahaan Barito Pacific, industri petrokimia di bawah PT Chandra Asri , hingga batu bara di bawah PT Petrindo Jaya Kreasi.
Berikut uraian lengkapnya:
1. Barito Pacific
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Barito Pacific Timber menjadi perusahaan pertama yang dimiliki oleh Prajogo Pangestu. Perusahaan ini sebetulnya bergerak di industri kayu Indonesia.
Pada tahun 1993, Barito Pacific Timber juga sukses melakukan go public sehingga sahamnya bisa dimiliki oleh masyarakat umum.
Kemudian, pada tahun 2007, Barito Pacific Timber resmi mengganti namanya menjadi Barito Pacific setelah mengurangi bisnisnya di industri kayu.
Masih di tahun yang sama, Barito Pacific kemudian mengakuisisi 70 persen PT Chandra Asri Petrochemical, yaitu perusahaan yang bergerak di sektor petrokimia.
2. Chandra Asri
Chandra Asri semakin memperkuat posisinya sebagai perusahaan petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia dengan bergabung bersama Tri Polyta Indonesia, pada tahun 2011.
Perusahaan ini memproduksi berbagai bahan manufaktur petrokimia, seperti etilena, pygas, probilena, dan polipropilena, yang dibutuhkan dalam pemrosesan minyak bumi serta gas alam.
3. Petrindo Jaya Kreasi
Pantas saja Prajogo Pangestu memiliki kekayaan sampai ratusan triliun rupiah. Bisnisnya sendiri kebanyakan bergerak di sektor energi yang bisa meraup keuntungan fantastis.
Adapun perusahaan milik Prajogo Pangestu yang bergerak di sektor energi ini adalah PT Petrindo Jaya Kreasi.
PT Petrindo Jaya Kreasi sendiri berperan sebagai induk perusahaan dan memiliki beberapa anak usaha yang memegang konsesi (izin untuk mengelola sumber daya alam) pertambangan batu bara di Kalimantan serta pertambangan emas di Nusa Tenggara Barat.
4. Star Energy Geothermal
Pada Maret 2022, Prajogo Pangestu melalui Green Era Pte Ltd membeli sebesar 33,33 persen saham Star Energy Group Holding dari BCPG Thailand. Nilai akuisisi perusahaan ini diketahui mencapai US$440 juta atau sekitar Rp7,1 miliar.
Sebagai informasi, Star Energy sendiri merupakan produsen energi panas bumi yang mengelola serta mengoperasikan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia.
Perusahaan ini juga mengelola lapangan uap untuk pembangkit listrik yang memiliki kapasitas bruto sebesar 875 MV.
Kasus yang Pernah Menyeret Nama Prajogo Pangestu
Telah lama menjadi orang konglomerat, Prajogo Pangestu ternyata sempat terseret beberapa kasus besar di Indonesia. Berikut adalah daftar kasusnya:
A. Kasus Proyek Hutan Tanaman Industri
Prajogo Pangestu sempat terseret dalam kasus penyalahgunaan dana reboisasi hutan tanaman industri (HTI) melalui perusahaan yang dimilikinya, yaitu PT Musi Hutan Persada (MHP), pada tahun 2003.
Diketahui, PT MHP melakukan mark-up nilai proyek HTI menjadi 195 ribu hektare dan telah merugikan keuangan negara sekitar Rp151 miliar.
B. Kasus Penyalahgunaan Pinjaman Dana Badan Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)
Penyalahgunaan pinjaman dana Badan Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) juga menjadi salah satu kasus besar yang pernah menyeret nama Prajogo Pangestu pada 2001.
Dulu, Prajogo ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi BPUI yang telah merugikan negara sebesar US$81 juta.
Hal ini berkaitan dengan kegiatan pengambilalihan utang Barito Pasifik kepada tiga bank pemerintah yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Usaha Indonesia.
C. Kasus Penipuan Henry Pribadi
Prajogo Pangestu juga pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan oleh Markas Besar Polri pada tahun 2006.
Kasus ini berawal dari Henry Pribadi dan beberapa pemegang saham PT Chandra Asri yang menjual saham mereka kepada Prajogo delapan tahun sebelumnya.
Kala itu, Henry dan pemegang saham lainnya menjual saham Chandra Asri senilai Rp1.000 per lembar asalkan Prajogo mau menanggung utang kepada negara senilai US$870 juta.
Saat kondisi Chandra Asri sudah membaik, Henry berencana untuk membeli kembali sahamnya, mengingat hal tersebut juga telah diatur dalam perjanjian jual-beli.
Namun, keinginan tersebut ditolak oleh Prajogo. Alhasil, Henry melaporkan Prajogo kepada pihak polisi karena dianggap telah melakukan penipuan.(Sumber)