Allah Ta’ala telah memberikan begitu banyak nikmat kepada kita, hamba-hamba-Nya, baik yang telah, sedang, maupun yang akan datang. Saking banyaknya nikmat tersebut, Allah menggunakan istilah ‘tidak terhitung’ ketika hamba-hamba-Nya berusaha menghitung semua pemberian-Nya.
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa jika Allah menjadikan seluruh tumbuh-tumbuhan sebagai pena dan semua air di lautan sebagai tinta untuk mencatat semua nikmat-Nya, hal itu tetap tidak akan cukup untuk menghitung nikmat-Nya, bahkan jika jumlah tumbuhan dan air ditambah lagi.
Di dalam tubuh kita yang terlihat saja, terdapat jutaan nikmat yang tidak terhitung. Belum lagi jika kita mempertimbangkan nikmat yang ada di dalam organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, ginjal, pankreas, dan organ dalam lainnya. Semakin kita berusaha untuk menghitungnya, semakin sulit bagi kita yang lemah ini untuk mengetahui jumlahnya.
Namun, ada pertanyaan penting: apakah kita mampu membedakan mana rezeki dari Allah Ta’ala yang merupakan nikmat dan mana yang merupakan laknat bagi kita? Dapatkah kita menjamin bahwa semua karunia yang diberikan Allah adalah nikmat-Nya yang agung? Atau mungkin ada beberapa karunia yang justru menjadi penyebab turunnya laknat?
Apa langkah yang bisa kita ambil untuk membedakan apakah sebuah rezeki termasuk nikmat atau laknat dari Allah Ta’ala?
Kepada salah satu ‘alim umat ini, disampaikanlah sebuah pertanyaan, “Jika Allah Ta’ala memberikan karunia rezeki kepada seorang hamba, bagaimana cara membedakan, apakah rezeki itu termasuk nikmat ataukah laknat?”
Berselang detik kemudian, sang ‘alim yang merupakan penulis kitab monumental ‘Uddatush Shabirin dan murid utama Imam Ibnu Taimiyah ini menyampaikan sebuah jawaban yang amat terang, seterang cahaya mentari di siang hari.
“Apabila rezeki tersebut semakin mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala,” jawab Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, “maka rezeki tersebut merupakan nikmat-Nya.” Sebaliknya, “Andai rezeki tersebut semakin menjauhkan seseorang dari Allah Ta’ala, maka rezeki itu merupakan fitnah yang tak dapat dilaluinya.”
Cobalah tengok sejenak. Lihatlah satu persatu nikmat yang Allah Ta’ala berikan. Adakah mata ini kita gunakan untuk membaca Kalam Allah Ta’ala atau sibuk dengan pandangan haram yang mencelakakan pikiran dan hati hingga semakin jauh dari-Nya?
Adakah rumah, mobil, sawah, ladang, dan saldo tabungan yang makin menggunung itu menjadi sebab bagi kita untuk semakin rajin mendirikan shalat jamaah di masjid bersama kaum Muslimin, atau justru melalaikan kita dari mengunjungi rumah-Nya karena alasan sibuk mengurusi dunia?
Wallahu a’lam.