Reliji  

3 Tingkat Manusia Beragama Menurut Al Ghazali: Selamat, Beruntung dan Merugi

Dalam bukunya yang berjudul Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali mengklasifikasikan manusia beragama menjadi tiga tingkatan. Dua di antaranya termasuk dalam golongan yang selamat, sementara satu golongan lainnya termasuk dalam kelompok yang merugi dan celaka.

Orang yang Selamat

Predikat selamat ini diberikan kepada orang-orang beriman yang selalu mematuhi kewajiban agama dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.

Mereka secara konsisten melaksanakan ibadah wajib dan menjaga diri dari hal-hal yang mubah, hanya mengambilnya secukupnya agar tidak terjerumus dalam tindakan berlebihan yang dapat berujung pada dosa.

Mengenai larangan, mereka tidak pernah mau berkompromi. Tidak ada satu pun jenis larangan yang mereka abaikan, melainkan mereka selalu menjadi yang pertama untuk meninggalkannya.

Orang yang Beruntung

Imam al-Ghazali mendefinisikan kelompok ini dengan identitas, “Yaitu orang yang selain menunaikan kewajiban agama juga rajin melakukan amalan-amalan sunnah dan ibadah-ibadah yang mendekatkan diriya kepada Allah Ta’ala.”

Ibadah sunnah berfungsi sebagai penyempurna amalan wajib. Ibarat makanan, ibadah sunnah adalah lauk, sayur, dan makanan penutup yang menambah kenikmatan dan kesehatan.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kombinasi antara ibadah wajib dan sunnah dapat membuat seorang hamba dicintai oleh Allah Ta’ala. Ketika Allah Ta’ala telah mencintai seseorang, Dia akan senantiasa membimbing hamba tersebut dalam penglihatan, amal perbuatan, dan langkah-langkahnya.

Orang yang Merugi

Ialah mereka yang melalaikan kewajiban sekaligus cuek terhadap amalan-amalan sunnah.

“Jika tidak bisa menjadi orang yang beruntung,” nasihat Imam al-Ghazali, “maka setidaknya engkau berusaha untuk menjadi orang yang selamat.”

“Yang penting,” lanjut sang imam, “jangan sekali-kali menjadi orang yang merugi.”

Dari tiga golongan ini, di manakah posisi kita? Apakah kita termasuk dalam kelompok yang selamat karena melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam?

Ataukah kita layak mendapatkan predikat beruntung karena menyempurnakan kewajiban dengan berbagai amalan sunnah? Apakah kita termasuk yang berhak mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam karena cepat melaksanakan sunnah-sunnah, meskipun dianggap kecil oleh sebagian orang?

Atau, mungkin kita termasuk orang yang merugi karena kelalaian. Kelalaian terhadap yang wajib, lalai dalam beribadah, enggan melakukan sunnah, dan justru terjerumus dalam tindakan sia-sia, maksiat, dan dosa?

Wallahu a’lam