Dalam Islam, terdapat kondisi-kondisi tertentu di mana sebuah amalan dapat bernilai lebih baik daripada amalan lainnya. Sementara dalam situasi yang berbeda, nilai dari amalan tersebut bisa berubah. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ajaran Islam, yang memberikan fleksibilitas bagi setiap individu untuk terus mengupayakan amal terbaik sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.
Keutamaan ini mencerminkan bagaimana Islam mengarahkan umatnya untuk senantiasa berbuat kebaikan dalam berbagai aspek kehidupan, baik melalui ibadah ritual maupun amal yang berdampak positif secara sosial. Setiap situasi memberikan peluang untuk mencapai ridha Allah dengan cara yang terbaik dan sesuai dengan hikmah yang diajarkan.
Imam al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Berfikir sejenak lebih baik dari bangun untuk Salat malam.” Artinya, berfikir untuk kemaslahatan umat bagi seorang pemimpin, atau memikirkan hukum terhadap sebuah perbuatan yang diperselisihkan bagi seorang ulama’, atau memikirkan tentang kebesaran Allah Ta’ala.
Salat malam memiliki keutamaan besar dalam Islam, terutama jika didirikan dengan niat yang tulus dan hati yang hadir sepenuhnya untuk mengingat Allah Ta’ala. Namun, salat malam yang dilakukan hanya karena ingin dipuji, tanpa disertai keikhlasan, atau dilakukan dengan kelalaian dari mengingat Allah, tidak akan memiliki nilai yang sebenarnya di sisi-Nya.
Salat seperti ini menjadi kehilangan maknanya karena tujuan utamanya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan meraih ridha-Nya, tidak tercapai. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa amal yang diterima adalah amal yang dilakukan dengan ikhlas hanya karena Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau pengakuan dari manusia.
Berpikir secara mendalam memiliki kedudukan spesial dalam Islam. Ia menjadi salah satu ciri orang-orang yang berakal (Ulul Albab) sebagaimana disebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 190-191.
Imam Ibnu Katsir menafsirkan Ulul Albab sebagai, “Mereka yang mempunyai akal yang sempurna lagi bersih, yang mengetahui hakikat banyak hal secara jelas dan nyata.”
Generasi Ulul Albab senantiasa memikirkan apa yang ada di langit dan bumi. Mereka, tulis Ibnu Katsir, “Memahami apa yang terdapat pada keduanya (langit dan bumi) dari kandungan hikmah yang menunjukkan keagungan Allah Ta’ala, kekuasaan-Nya, keluasan ilmu-Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, dan rahmat-Nya.”
Sosok Luqman al-Hakim yang bijaksana memberi nasihat tentang keutamaan berpikir ini, “Sesungguhnya menyendiri dalam waktu yang lama akan mengilhamkan untuk berpikir. Dan berpikir dalam waktu yang lama (tentang kekuasaan Allah Ta’ala) adalah jalan-jalan menuju pintu surga.”
Al-Hasan, menjelaskan makna berpikir dengan mengatakan, “Ia adalah cermin yang menunjukkan kebaikan dan kejelekan-kejelekanmu.” Muhasabah, inilah makna berpikir menurut al-Hasan. Ialah kondisi merenungi diri, memikirkan apa yang dikerjakan dalam kurun waktu tertentu, lalu berhitung; apakah amal shaleh yang mendominasi, atau sebaliknya.
Selain itu, menurut Sufyan bin Uyainah, “Berpikir merupakan cahaya yang masuk ke dalam hatimu.” Ialah memikirkan kekuasaan Allah Ta’ala atas diri kita dan alam semesta; bahkan di dalam diri saja terdapat nikmat yang sangat banyak dan tidak mungkin dibincang satu persatu.
Di antara puncaknya, sebagaimana dikatakan oleh Nabi ‘Isa ‘Alaihis salam, “Berbahagialah bagi orang yang lisannya senantiasa berdzikir, diamnya selalu berpikir, dan pendapatnya mengandung ibrah (pelajaran).”
Pantas saja, di dalam al-Qur’an terapat banyak pertanyaan, “Apakah kamu tidak berpikir?”, “Apakah kamu tidak memperhatikan?”, dan kalimat lain yang maknanya serupa.